Kamis, 31 Desember 2009

Dari Sebuah Kolam


: lelaki-ku

kolam terisi penuh banjiri hati
keruh pikir terendam kedalaman
kau ikan, berenang kecipak kesana-kemari
luapkan rasa ketika hujan datang

daun-daun kering
penanda musim usang
lumut menghijaui plester tepian
pantulan matahari
bias rembulan
: jatuh

kolam ceritamu tak kunjung kering

Jumat, 18 Desember 2009

Penghujung Tahun



: Kepada peristiwa-peristiwa



apa yang terhidu dari penghujung tahun?
pendar bulan apus memucat pasi
konon, ada janji dititipkan pada angin
dihembuskan ke mana suka, ke mana mau

ada gadis di sana
otak dan rasa diikat rindu
seperti yang sudah-sudah,
bibirnya menggantung harap
: kau akan datang

penghujung tahun selalu meninggalkan jejak
pijak kaki kenangan tiap sudut kota
"kau merasa asing,

namun aku tidak " begitu kataku


terang saja,
ini seperti merunut bunga tidur
sejelas petak kapling masa
membentuk alur
dan kita tinggal membaca
"aku terlanjur menutup telinga, sayang"

"inilah luka" begitu katamu


langkah usia memudar
momen mengusang
terbukukan gurat keriput senja

bukankah cinta, fiksi abadi?
ego menjadikan imaji

Sesudah Temu


: lelaki hujan

akankah kita berlarilari rindu menjemput hujan yang turun di kotaku
sudut kelopak mata mengering kemudian terisi penuh
kita membuat jejak kecil bersama di atas lumpur basah hujan
gerimis haru kuingin rasa di penghujung tahun
: sesudah temu saat itu

Otak Bebal dan Hujan yang Enggan Turun di Kotaku


aneh...
tiba-tiba aku lupa cara merindumu?
bukankah kemarin pagi kau masih ombang-ambingkan aku?
aku hanya daun kuning menunggu jatuh
takhluk jingga kemaraumu
saat hujan enggan turun di kotaku

mungkin...
akan ada hujan baru?
pelangi menyelusup tanpa hujanmu?

yah...
mungkin itu pelangi nakal
sesekali meriapkan warna rindu
dulu kau lupa
melewatkan bagian warna di sana
hingga tiba dewa-dewa melaburkan cerianya

namun entah
seperti yang sudah-sudah
hujan enggan turun di kotaku
dan otak bebal masih di sana
: menunggumu

Selasa, 08 Desember 2009

Splash of Raining Memories (Percik Kenangan Hujan)


raining outside my window
woke me up
reading your sweetest poem
is your longing try to came in?
this smell is just so close
so close with you...

but I've never see you again
drawing a kind of a piece of memories
: we run out
with pairs of confusing hearts

rain...
so much pain
a cup of memories and you
what a wonderfull mourn

=============

hujan di balik jendela
membuat terjaga
membacai sajak termanismu
apakah rindumu ingin lolos menerobos masuk?
aroma ini terasa dekat
sangat dekat denganmu

tapi tak kutemui lagi kau di sana
melukis lembar-lembar warna kenangan
: kita menghindar lari
bersama mengantongi sepasang hati bimbang

hujan...
terlalu banyak lara
kau dan secangkir kenangan
betapa eloknya duka

sby, 081209

Rabu, 02 Desember 2009

Kepada Bulan yang Tengah Mengembang


kepada bulan yang tengah mengembang
membopong kenangan jatuh ke pelukan
sinar jingga keemasan berpendar
mengolok memerosokku dalam rindu
jurang luka suka lebur jadi satu
langit hitam mengurungku

kau di sana menggoda
selesaikan dulu tugasmu
beban kau panggul di tengah bulan
dan ketika sinarmu jatuh mati
jangan gentar aku datang menyusulmu
memapahmu, mendekapmu.

: aku masih lautan, muara sinarmu.

021209

Pada Suatu Ketika Bernama, Pisah



status-status terpanggang
lalu terkikis hujan
hilang

: direnggut Tuannya

ialah kepada
sekuntum anyelir jingga* pudar
berganti kuning

sby, 011209

* arti bunga...

Maaf, Tak Ada Sajak


maaf, tak ada sajak hari ini yang kubacakan, kubisikkan maupun kudesahkan pada malammu. tak pun juga malammalam sesudahnya. sesudah tirai-tirai kita tersingkap, dan kita hanya menemu wajahwajah pasi bergincu, bermuka tebal namun tanpa rasa, tanpa emosi.

maaf, tak ada sajak hari ini yang kubacakan, kubisikkan maupun kudesahkan pada malammu. tak pun juga ketika kau menghidu embun di pelataran kamar singgahmu. sesudah kau terlelap penat sekejap menanti seru sepertiga akhir malam, kemudian kau tunaikan sholat setelah membasuhkan tirta suci yang kau kumpulkan dari do'a sedari pagi hingga sore menunggu kau sebut saat itu. aku tak pernah ingkar janji, namun kau tak pernah menandai harapmu atasku di sana. tak satu aksara, apalagi kata. Sebuah namaku.

maaf, tak ada sajak hari ini yang kubacakan, kubisikkan maupun kudesahkan pada malammu. tak seperti malam-malam sebelum ini, aku menemanimu berdiri di sisi lain jendela, mengendap-endap bermain matamata, sesekali menelikung senjamu, jinggamu. entah mengapa, warna itu tak pudar, belum lekang, nyaris tanpa terganti.

maaf, tak ada sajak hari ini yang kubacakan, kubisikkan maupun kudesahkan pada malammu. ini seperti kesalahan masa lalu ku. kenangan yang menghisap erat hidupku, terjebak, berontak namun siasia, tanpa daya. aku hanya bisa memfosilkan rindu pada benda-benda bisu, pada dinding kamarku, pada langit-langit, pada lantai marmer, pada potonganpotongan gambar beku, pada jalan abu-abu. semua berkelebat cepat dalam otak menunggu giliran diputar mendesak ngilu. tak ada pembebat, tak ada pil penawar, namun raga terlanjur kelu.

tak ada sajak hari ini yang kubacakan, kubisikkan maupun kudesahkan pada malammu. karena untuk apa? kau tak pernah membaca, tak pernah merasa, tak pernah menjeda. jadi sajakku hanya kumpulan angin yang menanti balon-balon nasib menjaringnya. menjadi penghibur kanak-kanak yang lolos lepas. kemudian terkapar panas. Dan...

DHUAR...

meledak seketika.

301109

Rindu Kita


sepanjang musim mempertemukan
maka sejauh itu perjalanan menemu coba
maka biar lah rindu tertebar
menemu jalannya sendiri
memutuskan takdirnya
: tumbuh atau lampus

(291109)

Matamata (2)


sangat penat menjengkal titian kau dan aku
matamata kehilangan daya menantang mentari
kita terlanjur menutup mata bukan?
karena luka menusuk salah satunya
kita seperti kehilangan separuh jiwa

mata kita masing-masing terpicing satu
maka biarkan kau menjadi mataku
dan aku menjadi matamu
lengkaplah kita
sempurna

meniti jengkal jalan seterusnya
: kau dan aku

sby, 291009

Sebuah Coretan Saja : Untuk Lelaki Api


: lelaki api

katakan aku menjadi batu
maka aku menjadi batu
tahan menunggumu

katakan aku menjadi ilalang
maka aku akan menjelma ilalang
tegar menuruti laju anginmu

katakan aku menjadi matahari
maka aku akan merupa sang surya
hangat menaungimu

katakan apa saja yang kau mau
asal jangan minta aku mewujud air
: membenci api mu

281109

Mengganti Langit


ah kemarin, sebelum terlelap
ada nama kuukir di dinding kamarku
pada tembok sewarna salju
dengan butiran es luluh oleh penatahku
huruf-huruf yang lebur menyatu

nanti sebelum aku tertidur
di sujud pertamaku
saat jingga merekah

boleh aku titip pesan, Tuhan?
ganti kelambu langitmu
jangan ada jingga

bakar kalau perlu dengan api merah menyala
dengan bara yang nganga

dan langit kosong itu
tutup lah ia dengan karpet langit salju
berbordir namanya yang beku

241109

Matamata




matamata ini senantiasa mematamatai matamata mu yang nanar
menatap matamata beranda seperti matamata kenangan ruam

matamata mu mata elang tajam menembus matamata hatiku
pekat sepekat matamata sinar lorong gua yang hitam kelam

matamatamu akan kah menemui matamata ku
saat penanda matahari menunjuk pada matamata janji

matamata mu kutunggu menemuiku di sini
meneduhi matamata jiwa yang gersang hampir mati
: matamata rindu yang menggebu memandangi matamata mu

221109

Rendezvous dalam Setangkup Hujan

: E.S.Y*

masihkah kau ingat, sayang.
hari itu hujan guyur perumahan kita
beberapa tangkup jelaga atap luruh
kita belum genap sepuluh
kadang masih meronta pada ibu
meratap harap beberapa tusuk gula-gula
setelah dapat,
lidah tak henti menjilat tiap senti manisnya

kau selalu di sana
duduk melipat lutut mensedekapkan raga
mengusir beku hujan dari tubuh
aku di sampingmu,
meminjam bahu menyandarkan kepala

ketika hujan agak deras
dan gula-gula lepas dari genggaman
kau tarik tanganku menemui hujan

dan kita basah
kanak-kanak kita meleleh bersama derainya
tangan-tangan kita menadah hujan
menjejak pijak kaki memburai kecipak
hingga reda

sayang,
hari ini hujan datang ke perumahan
dan seperti tiap kedatangan hujan
tangan-tanganku tengadah menadah aliran
memanen masa kecil dalam kenangan

hingga deras reda
dan gerimis hinggap
seperti itu pula rindu masa lalu
: menunggu henti surutnya hujan

221109

Selasa, 17 November 2009

Cinta Separuh



jalanmu lebih mudah bila tak ada beban kutimpakan padamu

menetak kedua bilah kakimu pada seonggok kayu lapuk

langkahmu pasti jauh mengelebat lesat menjauh dan lari
tanpa aku memegangi tanganmu menarikmu masuk
ke tubuhku, ke lukaku ke perihku

kau akan kehilangan waktu, mencari jeda, merunut tanda baca
lambat laun kan merapuh seiring titi pijak menggugup tanpa gegap

jadi biar ku biar kepak pijar pendar menjauh
mematai sia-sia, menunggu adalah jawab sempurna

: cinta separuh yang tak pernah utuh

Senin, 16 November 2009

13 Oktober 2009 : Bandara


berapa lorong kau pinta jadi saksi
beku diami otak-otak karang

sepanjang jalan muara koper-koper berpulang
gerai rambut yang basah sekedarnya
bahkan kaki-kaki kita masih terdiam
enggan menjangkar dermaga hati satu sama lain

plang besi itu bisakah kau cerabut?
koridor pintu sanggupkah kau pecahkan?
manekin-manekin berseragam penurut aturan
karcis-karcis pemisah
roda-roda troli bagasi
adakah peniadaan?

dan
lambaian tangan
tarikan badan
kecup perpisahan
simpan di saku bajumu
dekat dadamu
agar ku selalu dengar debarmu

tak mungkin aku abai
kata kembali

entah
berapa surat rindu terkirim
sampaikan kabar
sampai terlunasi janji

aku masih akan selalu sayang

*20:10



Do'a : Menanti Fajar


dan inilah yang disebut pemberhentian
mata-mata nyalang lelah
menanti rebah mencari peluk
nyata hilang terhempas
kelam memeluk lensa terpejam

dan ingat malam-malam sepertiga akhir
mencari penengah penat dan duka
bahuMu Maha Lapang
tak pernah penat menampung

ayat kalimat sajakmu mengalun
terbata aku eja
padaMU terimakasih karena membawanya

dan itu baju zirah keemasan
penanda fajar jingga keesokan
Kau kalungkan kemudian setelah sujud pertama
dan tunai bertawadlu'
biar kantuk dan dingin yang memeluk
karena lukaku abadi menunggu Kau obati

: putusanMU


Sby, 141109

Pada Setiap Gerimis


: lelaki yang mencintai gerimis

bukankah pada setiap gerimis diam-diam itu
luka urai dari kelopak mata
gerai titis terserap tanah
jatuh menitik laut

bukankah pada setiap gerimis diam-diam itu
rindu ilalang terbasuh
dan padang stepa bersemi
kuncup bunga rekah kecup langit

bukankah pada setiap gerimis diam-diam itu
tulus do'a peminta hujan luruh
sabda alam menjawab harap
itu suci, bukan?

menderaslah saja hujan itu
membebaskanmu
menghidupkanmu
melepaskan bebanmu

nanti di suatu ketika,
cahayaku datang menghangatkan
kita bersama melukis garis

: pelangi

Sby, 131109


Skenario : Jingga


kita berdiam di punggung belahan bumi berbeda. namun aku selalu menunggumu. aura mu mengkelebat jalang, sembunyi antara rerimbun fajar luruh. aku menjerang pagi dan kau masih setubuhi malam

kita berdiam di punggung belahan bumi berbeda. namun aku selalu menunggumu. temu kita sujud pertama menetak harap sepertiga malam terakhir. sirap subuh belum terungkap. aku tahu kau lelah menungguiku. lelaplah sejenak. pendar cahayaku biar selimuti raga dan bilah kecup mengantar ke awang-awang

kita berdiam di punggung belahan bumi berbeda. namun aku selalu menunggumu. senja esok kita bertatap muka, menukar peluk saat membuka mata. kubangunkan kau kembali jingga...

: senja dan fajar jadi milikmu


sby, 131109

Senin, 09 November 2009

Andromeda dalam Legenda


: Perseus

Seikat rindu tertaut pada batu-batu laut
Menetak kuat hujam mencengkeram dalam
Rantai-rantai kuning membebat

Karangmu adalah diam, Perseus
Dan aku masih tak mengerti

Itukah Medusa
Mematok kita pada kenangan
Menanda kita pada jeda

Rantaiku adalah dendam, Perseus
Dan aku masih tak mengerti
Dendam atas luka
Dilaburkan Phineus rajam nadiku
Aku bukan benda, bukan?

Itukah Medusa
Patok yang membelit rumit
Menghadang rintang langkah kita

Temui aku disini, nanti
Jangan sekarang
Tunggu sebentar lagi

Ini Novemberku
Tak seorangpun aku rela mengusik
Sinarku, kerlipku, pendarku

Tiga gugus penanda itu
Kata, suara, cita belum tertunaikan
Ini bulan tahbisku
Atas putra dewa, mengangkatku jadi rasi

Temui aku nanti, Perseus
Agar Poseidon tak curiga
Mengutus Gorgon menghabisi

Mungkin dengan perisai cerminmu
Kau bisa berkaca pada diammu
Dan pedang berlianmu
Membebaskanku dari rantaiku

Dan bebaskan aku dari batu laut
Menawanku pada satu rindu
: Perseus, gapai aku

Sby, 031109

Lelaki Hujan dan Laut


laut selalu menjarah pilumu dengan peluk rindu. dan kau tak pernah menengok ke belakang. ah... bukankah laut adalah arah belakang? jadi bila kau menengok ke belakang laut, seharusnya kau telah menghadap ke depan?

lihatlah!
bila kau menanti laut menelanmu hidup-hidup, aku akan berdiri di belakangmu. menarikmu sejauh aku mampu, mencegahmu larut.

wahai lelaki bertopeng hujan, timpakan saja hujanmu padaku. laut terlalu sering membuang sia, sementara aku di sini menanti hujanmu. bukankah menjadi tak sia-sia?

Minggu, 01 November 2009

November yang Selalu Tak Sama



entah 

mungkin hanya angka yang akan aku tiduri malam ini. kata telah tenggelam di kolam dengan bayang bulan penuh bundar tergambar. tak ada seulas senyum, tak pun tetes rimbun air mata menitik membentuk hujan baru

november selalu tak sama,
bukankah itu bulan kita menaut nama? nama itu merangkai kata yang kita beri penanda. tapi tentu saja itu terserak pada jalur gemintang yang selalu berubah sesuai edar. tak ada yang sama. tak pun rasaku.

entah
mungkin hanya wajah serupa raut yang memucat tak merasai apa-apa, selain layar yang berkedap-kedip nyalang mencari bayang kemudian hilang. seperti laut yang kau puja menyentak karang hempas, hanya terkikis dan tak goyah. dan aku bukan laut, aku manusia tak tegar seperti laut menaungi kelok keluk gelombang, ayomi tripang dasar lautan.

november selalu tak sama,
bila hari ini ada cerita yang berbeda, aku yakin akan seperti itu di tahun berikutnya. dan canda kita hanya seperti gelitik angin pada ilalang, mungkin mampu menyentuh pucuk-pucuk. namun angin selalu menyerahkan benang sari pada putik. tak akan angin khianat setubuhi sendiri alur itu.

entah
dan seperti perjalanan kita yang tak tentu awal tak tahu akhir. biarlah larut pada nyanyian racauan penghujan yang belum datang. aku yakin hujan pasti datang. namun mungkin aku salah membacai musim, salah menera masa berbunga. dan kelopak-kelopak telah berguguran kering, sebelum hujan datang. panas dan tak terselamatkan.

november selalu tak sama
dan biarlah menjadi seperti itu, karena hujan di bulan apapun akan tetap masih selalu ditunggu. kemarau pun masih menyajikan janji tak akan jadi perkasa. bukankah november selalu menyisakan sesuatu yang menakjubkan? setelah keberanian yang diumbar di september, kini adalah masa membebaskan...

maka, 
aku menjadi tak peduli akan seperti apa, pada cuaca, pada kata, pada langit dan pada bumi yang datang di bulan november. apapun itu, terimakasih karena mereka membuat gantungan-gantungan bajuku penuh, saputangan-saputanganku tidak percuma, tungku-tungku ku mengepul air matang yang dijerang dari sumber api matahari.

dan, tentu saja masih...
seperti setiap kedatangan november yang selalu tak pernah sama. cinta datang dan pergi tak pernah sia-sia

Kamis, 29 Oktober 2009

Sebuah Surat : Rindu yang Lebur dan Kata yang Beku


: Jingga

Aku rindu
Pada taman yang menghantar kita menemu tatap mata
Pada setapak yang mencandai genggam tangan kita
Padahal aku angkuh, bukan?
Kau juga, bukan?
Dan akhirnya mereka hanya puas menyaksikan kita
Mensedekapkan jemari pada dada
Sungguh, bukan itu yang ku mau

Sepertinya lepas penanda kata kita
Tertinggal pada kenangan yang telah lampau
Pada tetak batu, pada dedaun kering, pada pancuran air

Sepertinya lepas penanda kata kita
Tercerabut pada ingatan yang terberai
Pada pepohon, pada desau angin, pada kerikil 

Mengapa kau tak menarikku saja
Seperti saat kau mampu merenggutku masuk ke luka kenanganmu
Mengapa kau tak melesakku saja
Seperti saat kau mampu mendesakku mengawang hujanmu

Apakah hati kita tak lagi sama-sama menyentuh?
Seperti kalanya saat kita menghantar pesan-pesan rindu 
Pada tanggal, pada hari, pada jam 
Dimana aku mengungkal seulas senyummu?

Rindu masih terpasung
Membentur marmer bentengmu
Apakah ada beton yang membendung di belakang?
Sehingga aku pun tak paham
Rapat tabir rumit ku buka

Kita sama-sama cahaya api
Membiarkan rindu-rindu kita
Terbakar lenyap lebur jadi abu
Kemudian diam kita tukar pada temaram malam
Dan kata-kata seketika membeku

Sby, 291009

Minggu, 18 Oktober 2009

Lelaki yang Menyimpan Aroma Api


: Jingga

sungguh ada aroma api dari tubuhmu

lingkup bayang aura jingga mengental
namun sepertinya kau lupa,
kau pun angkuh

bukankah aku embun?
ah mungkin bukan
sebut saja aku bayangan bulan
menetap di danau
tersesat dan asing

sungguh ada aroma api dari tubuhmu
kau api yang mencinta hujan
hingga aku tahu hangat dadamu
menguar hingga ke kamarku

sedahsyat itu-kah?

bukankah aku sirkam merah muda?
ah mungkin bukan
sebut saja aku batu kali 
menetap di danau
tersesat dan asing

dan entah selalu saja tercium aroma api
entah apakah asingku menyerapnya habis?
kemudian mengedarkan ke sumsumku

sungguh ada aroma api dari tubuhmu
dan api itu berdiam di otakku
: enggan pergi

sby, 181009

Rabu, 02 September 2009

Surat untuk Lelaki-Lelaki


: lelaki-lelakiku

perempuan itu aku
menjengkal arah menukikkan bintang jatuh pada laju jam pasir.
tak pernah memakai gaun pada tubuh telanjang
tak perlu tetes mata menyeret indung kelopak menjatuhkan bulir bening

hidupku adalah...
jengkal sahara menunggu pijak lemahku
sepanas apapun, seperih itupun, maka aku tetap harus menjejak

dan di jantung hati perempuan itu selalu ada
penjaga-penjaga lelap memantrai
bercerita dongeng debu-debu langit
melinting ganja utopia kisah nyata

puh...
dan disemburnya asap-asap lingkaran senja

ini semacam melankolia bukan?
menunggu dibasuh rindu
nyalang semakin redam

maka perempuan itu berlalu

pamit...

sby, 310809

Sabtu, 29 Agustus 2009

Di Situ, di Taman itu, Aku Menunggumu

: Jingga


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
senja merayap masuk dari sela semak belukar, akar pepohonan yang tersembul
kelindan pijar kerlip lampu yang satu persatu membias mewarna sudut sudut


aku tak perlu kusam bangku taman, sayang
cukup luasan dadamu, rebah kepala bersandar
hingga cukup dekat, sangat dekat dengan debur jantungmu
kalau aku beruntung aku mungkin bisa mendengar
sorai degup meneriakkan namaku berpacu dengan angin malam itu


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
tentang paving yang mengeras tegar menantang panas dan hujan
dan garisgaris tetak patok yang memisah jarak satu dengan yang lain


itu kepala kita, sayang
menggenggam kata yang kita peram dalam
tiga kata, sayang
dan kita masih enggan membuka satu demi satu selubung sebelum matang


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
ketika terang habis dilumat awan malam
burung mengintai kita di langit, rikat laju sayapnya
biarkan mereka mencibir iri bersungut-sungut pulang
kemudian rombongan yang lain datang
nyamuk liar yang berdengung denging merindu wangi aroma bahumu
: seperti ku


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
kita mendiami belah kota yang berbeda, menyusuri punggung jalan tak sama
kalau kau singgah suatu saat entah, suatu waktu mungkin
tengok saja di situ, di sudut taman kota itu
saat siluet senja mula memudar dan rambang


ada yang menunggu di situ membawa rindu
: aku


sby, 290809


Minggu, 16 Agustus 2009

Tabula Rasa *1) : Pasivitas Manusia dalam Menerima Lingkungan



By statement: Ratih Kumala.
Language: Indonesian
Pagination: vii, 185 p. ;
ISBN 10: 9797327140
LCCN: 2004427677
LC: MLCSE 2004/00936 (P)







Saat saya membaca sebuah novel percintaan - seperti yang diungkapkan oleh salah satu endorsernya - biasanya menjadi suatu hal yang mengasyikkan, dan memang demikianlah adanya. Kemudian, ketika saya menggambarkan isi novel ini dengan menggabungkan efek label Pemenang Ketiga Sayembara Novel DKJ 2003 di sampul depan, tiga orang endorser kelas TOP – dalam artian top, tiga orang erdorser *2) tersebut adalah penulis dan pembangun menara sastra Indonesia, menurut saya tentunya- di bagian belakang, menjadi sebuah jaminan yang “mahal” bahwa ada sajian yang menarik dari novel ini.

Namun menjadi ironi ketika saya menemukan buku ini di tumpukan buku “sale” dengan harga bandrol sepuluh ribu rupiah, di sebuah pameran buku di wilayah Surabaya, saat Surabaya sedang merayakan bulan-bulan HUT eksistensinya sebagai Kota Niaga. Mengapa novel “bermutu” ini ada di keranjang sana, diantara deretan buku yang tidak “popular” dan tidak mempunyai “daya jual” di mata publik Surabaya? Padahal, menurut saya label-label tersebut adalah suatu jaminan. Ah… kemudian saya agak tersenyum kecut tapi lega, minat baca masyarakat Surabaya tidak se-memprihatinkan yang saya kira. Ketika saya cari-cari, buku ini tinggal satu di keranjang tersebut. Kecewa sebenarnya, karena biasanya saya akan membeli lebih untuk saya bingkiskan kepada orang lain.

Ya, kemudian pembicaraan saya berikutnya adalah, marilah mengesampingkan terlebih dahulu problematika market, idealisme dan momentum dalam sebuah penerbitan dan penjualan buku, dan saya malah lebih asyik membicarakan apa di dalam novel yang dibungkus cover putih dengan lukisan semi-absurd, tanpa judul dan tanpa tercantum siapa desainernya dan diberi tajuk “TABULA RASA” ini.

Saya ingat, saya mulai akrab dengan istilah Tabula Rasa ketika saya sedang menempuh pendidikan sarjana saya. Istilah ini seperti sebuah istilah ajaib semacam “Alohamora” dalam mantra “Harry Potter” sebagai pembuka kunci sebuah pintu. Dan saya tahu pintu itu adalah pintu dunia psikologis pembaca. Tabula Rasa adalah juga kata pertama yang didengung-dengungkan dalam diktat disiplin ilmu saya. Simak saja berikut :

Teori “tabula rasa” sebagai kelanjutan pendapat Aristoteles yang secara garis besar menganalogikan manusia ( bayi ) sebagai kertas putih dan menjadikan hitam atau menjadikan berwarna lain adalah pengalaman atau hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan dan treatmen dari orang-orang yang berpengaruhlah yang membentuknya melalui proses belajar dan pembiasaan-pembiasaan. Tak ada daya bagi manusia untuk menjadikan hidupnya. Satu-satunya yang menentukan adalah lingkungan. *3)


Apakah itu yang dimaksud oleh penulis? Maka ketika saya membaca, saya ketemukan apakah makna Tabula Rasa menurut penulis, lewat sebuah kutipan salah satu tokoh sentralnya – Raras - sebagai bentuk pasivitas manusia dalam lingkungannya, layaknya bayi, seperti penggalan berikut.

Vi, aku kini tahu siapa aku. Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris yang terbentuk dari jalannya hidup. Aku tak pernah menyesalinya. Aku tak menyesali jalanku. *4)


Raras, perempuan dengan naluri homoseksual perdominan, gamang dengan pilihan akhir hidupnya.

Kalau memang kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah dulu malaikat salah taruh jiwa laki-laki ke tubuh perempuan dan jiwa perempuan ke tubuh laki-laki? …. Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk menjadi homoseksual, semua orang juga maunya lahir normal. Maka kuanggap biseksual adalah solusinya, tapi kemudian Argus menasehati agar aku memilih menjadi homoseksual atau heteroseks saja sebab ancaman bahaya untuk kesehatanku jadi lebih besar jika aku menjadi biseksual. *5)

Raras dihadapkan oleh penulis sebagai tokoh yang tidak bisa membuat pillihan hidup, ia seakan-akan telah diberi pilihan dan pilihan itulah yang harus dijalaninya.

Apakah seperti demikian maksud "Tabula Rasa" yang ingin dipresentasikan dalam novel tersebut? Yang saya ingat, ketika pembaca membuka dan mulai membaca, tak pernah ada tabula rasa dalam setiap individu.

Apabila demikian apakah manusia hanya boneka “suatu takdir”, “rencana hidup”, “Tuhan” atau lingkungan sebagai representasi dasar dari pemaknaan Tabula Rasa tersendiri?

Saya ingat, ketika saya mulai membaca, saya mempunyai berjuta-juta rasa tersendiri, patah hati, kecamuk menghidupi diri, masalah pribadi dan berjuta polemik dan permasalahan yang tentu saja BERBEDA dan UNIK dari orang lain. Apabila setiap orang – sebagai satuan unit lingkungan- seperti kertas kosong, tentu tidak ada yang UNIK dari kita bukan? Atau mungkin memang, Raras sebagai tokoh sentral Tabula Rasa merupakan sebuah tokoh sentral dinamika kepasifan manusia atas lingkungannya.

Saya pikir, Tabula Rasa lebih dari sekadar sebuah jalinan cerita reka ulang adegan yang serampangan, karena didalamnya banyak kandungan dinamika psikologis manusia yang dieksplorasi dengan cerdas dan perenungan.



Pencatat :
Nisa Ayu. mahasiswa jebolan S1 Fakultas Psikologi UBAYA


Daftar Rujukan :

*1) Judul novel yang ditulis oleh Ratih Kumala, terbitan PT. Grasindo, tahun 2004.

*2) Tiga endorser tersebut adalah Budi Darma beliau adalah cerpenis, novelis dan pengamat sastra, Maman S. Mahayana, pengamat dan kritikus sastra dan Puthut EA, penulis.

*3) Diambil dari http://74.125.153.132/search?q=cache:vCfhMISEApsJ:edwi.dosen.upnyk.ac.id/PSISOS.1.doc+tabula+rasa+%2B+psikologi&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

*4) Tabula Rasa. hal. 183

*5) Ibid. hal. 158-159

Sabtu, 08 Agustus 2009

Pesta Kantong Mata Hitam




entah pesta siapa kita rayakan
penanda delapan bundar bulan
kau balikkan punggung sekenanya sesukanya
saat itu

mungkin aku terlanjur lupa, kau setubuhi buih samudra
lalu pekat warna kopi kau muntahkan di kedalaman
kau jilat hidu seakan hitam kelirmu

ah... mungkin memang benar hitam kelirmu?

setelah itu aku hanya bertanya
siapa yang harus kupercaya?
bulan bundar, buih samudra, kelir kopi, atau...
kau?

kantong-kantong mataku terlanjur menghitam, Tuan!
hanya itu kau tinggalkan?

: penanda pestamu

sby, 090809

Sabtu, 27 Juni 2009

Prolog - Epilog

biarkan saja catatan ini menjadi catatan pembuka yang mengakhiri pengumulan kita. pergumulan yang memberi isyarat bahwa antara kita pernah terjadi sebuah percakapan langit. percakapan langit yang mengarah pada suatu pertunjukan.

ada bulan yang memberi pendar cahaya petromak di panggung kita. kemudian di babak selanjutnya digantikan oleh matahari sebagai pusat dari segala titik lakon yang kita peraga di setiap pertunjukan itu. kemudian senarai bintang yang berlakon yakinilah hanya sebagai figuran. dan tentu saja kau yang menjadi tokoh utamanya.

coba masuki satu persatu setiap perlakonannya. kau bisa menjadi apa saja, bahkan kalau kau mau kau bisa saja menjadi pusat tata surya. bisa saja menjadi sutradara. bisa saja menjadi penyandang dana, yang tidak bisa dipungkiri kau adalah bintangnya, melebihi bintang manapun dalam kelebat pertunjukan itu.

yah... dan di setiap pertunjukan selalu saja akan dibacakan sebuah epilog. maka bolehkah aku membacakan epilog dari ku? sedikit saja, kumohon :

"cahaya itu adalah percik rona dari wajahmu. cahaya pertama membuka hari di saat aku terbangun dalam lelapku. rona jingga yang pertama"

kemudian biarlah deretan bintang-bintang yang aku yakin sinarnya imitasi tak semurni nyalamu, berganti-ganti menghuni sebagian atau beberapa adegan. bukankah seorang tokoh utama membutuhkan pendukung adegan yang sempurna?

dan selalu saja ada rona yang mengembang di setiap pergolakan bintang-bintang itu. iri mungkin? takjub barangkali? biarlah... toh itu tugas mereka.

maka di setiap akhir selalu akan ditampilkan sebuah epilog. menutup pertunjukan itu.

"dan inikah akhir jumpa kita. ada senyum mengembang di kelok bibirmu. dan aku harus memendam rindu pada malam pertunjukan berikutnya?"

sby, 280609

(catatan mbuh kah ra weruh!!)

Kamis, 25 Juni 2009

Catatan Terakhir

: Jingga

seperti endapan malam yang selalu aku tunggu kehadirannya
sua adalah menanti rindu terselip dalam mimpiku

aku terlanjur menggulir begitu banyak puisi rindu
yang aku ikat begitu erat pada jantung penanda kata

namun entah...
sebegitu cepat kita meninggalkan ego
terlampau mahal enggan untuk kita elakkan

dan seperti sekian banyak sua
masih ada beberapa jejak kecup tertinggal hangat
masih ada angan pekat pergumulan
masih banyak surat riindu telanjang layak kita simpan

dan tentu saja (mungkin)
kau akan menyimpan dalam kotak yang terkirim
: waktu yang lampau

sby, 240609

Sebuah Bon Bertulis Kenangan

: zaky hidayat


Bisa saja sebenarnya, aku membuang semua ingatan tentangmu
Layaknya bon-bon yang kubayar dan kuterima tiap hari
Kau dengan mudah bisa saja kubuang selepas aku melunasi

Tapi tentu,
cinta bukan transaksi dan rindu bukan bilangan kode nota penjualan
Mana mungkin mengenal retur atas waktu dan hati
Yang terlanjur aku titipkan sebagai tanda jadi di muka atas rasaku

Dan karena rasa ini hampir mewakili tumpukan bon
Maka aku meneramu dengan besaran picis

Layaknya bon yang tiap hari menunggu pelunasan rindu,
namun selalu aku simpan tanda jadinya
tanpa pernah berani kubuang...

sby, 230609

Senin, 22 Juni 2009

Bulan



bukankah sinarmu setahun, dua belas kali dua
sama dengan hasilku memikirkanmu
dalam hitungan waktu
: dua puluh empat penanda jam

Sby, 230609

Hati Kita Labirin Sunyi


: Jingga

Sepertinya tidak mudah untuk sekedar kita bercengkrama, sewajarnya, selayaknya. Atau mungkin kita memang tidak layak. Kalau begitu putuskanlah untuk pergi menghampiri hal wajarmu yang lain, hal layakmu disana (mungkin).

Sepertinya hati kita tidak akan mudah. Hati kita labirin sunyi. Sementara kita terperangkap melintas susuri menggambar peta, sambil mengingat arah mata angin. Hati kita menjadi rumit. Kita tak menemu satu pun bintang penunjuk arah. Kita terlanjur terkunci pada kerasnya batu.

Dan sepertinya tak ada akhir yang mudah apalagi indah untuk kita, selama kita engan berteriak atau berbisik, sambil meneriakkan nama. Mencari jalan keluar atau berjalan bersama.

Sby, 200609
*menjelang jingga

Kamis, 18 Juni 2009

Dari Pantul Kopi Membayang Raut Lukamu, Jingga


: jingga


biasanya aku akan berkaca dari sinar pantul air kopi yang menghitam
serupa lubang lukamu yang kapalan, nanah dan memar ruam-ruam.
kau masih saja menyimpan luka yang kau simpan rapat dan entah untuk apa.


kau menunggu seseorang, katamu. siapa?
tak seorang pun yang mengecup hangat pelipismu bahkan dalam ruang sua
tak juga ia, yang kau puja dan simpan di balik bantal mimpimu.


kadang aku cemburu pada luka menghitammu
yang mengingatkanmu padanya
kenangan hitam yang kau kempit dan bawa pulang
kemudian kau mengendap-endap masuk ke ruang hatiku
tanpa mengetok pintu, tiada mengucap salam


memang, tak banyak yang kau ambil
hanya segenggam kasa, tetes obat merah, dan lembar kelambu
kau lupa segenggam kassa pembalut dan tetes obat merah
kassa itu kupintal dengan serpih rasa rapuh
tetes obat merah adalah tetes luka yang kau tanggalkan padaku


belum cukup?
kau koyak beberapa suwir kain kelambu dan membebat kencang lukamu


padahal, kau tahu?
kain kelambu itu aku rajut dengan kenangan lama
yang tanpa kau sadar aku telah perlahan melupakan
namun sekarang berasa ada yang hilang


dan entah setelah itu kenangan lama itu membayang di lukamu
seperti pantul kopi yang membias membayang raut lukamu


sby, 190609
*menjelang jingga

Minggu, 14 Juni 2009

Sepagi Kemarin, Sekarang dan Esok


: Jingga

sepagi adalah saat aku memutar playlist suara-suara angin yang jauh dan tiba-tiba menjadi menggigil. kadang kala aku berlagak menjadi pemusik memetik dawai fajar pada entah siapa yang secara tak sengaja turun dan singgah dalam dada. mungkin saat itu masih tertinggal jelarit jingga bekas subuh yang mengendap

aku tak pernah tahu hingga kapan pemberhentian sepagi ini akan menjadi pagi-pagi kemarin. saat aku menemu bidadari yang kemarin kutemu kemudian koyak dan hempas oleh masa.

padahal hampir saja aku mempersunting dengan nyala merah muda mawar beranda surga. nyaris saja ada sorak sorai karavan penjemput dengan syahdu shalawat melewati pagar kediamannya.

dan

tak seperti sepagi sebelumnya, aku menduga sepagi esok adalah sepagi yang merindu nyalangmu yang menyapaku hangat, sumbang lelucon puas dan mesra merengkuh kecup dan peluk rindu yang ku yakin masih kau tahan

Sby, 140609

Jumat, 12 Juni 2009

Sayang, Tentu Saja Aku Cemburu





: Jingga

dari tumpukan kertas-kertas tua biasanya aku berbicara tentang bahasa lamunan kita. lamunan yang biasanya akan membawa kita pada suatu percakapan. dan entah karena mungkin bahasa kita serapuh kertas tua itu maka percakapan kita akan mudah diterbangkan angin.

kemarin sewaktu kita menikmati sajian sambil membentangkan kertas-kertas tua kita, ada beberapa serpih puisi yang entah tergeletak begitu saja di sela halaman kertas-kertas tua kita. puisi itu tertulis dalam lontar yang aku tak pernah tahu bentuknya. sejak itu kau sama sekali tidak mau menjamah kertas-kertas tua kita. terpekur membacai alinea demi alinea kata dalam puisi itu.

biasanya saat kita bercakap-cakap, kau sorongkan kertas-kertas tua itu ke hadapan jengkal hidungku. "kecuplah, sayang! hidu!", teriak mu berulang-ulang. namun entah sekarang tiada. sekarang, kau hanya memiliki ruang sendiri antara kau dan puisi mu. kau bangun benteng sebuah ruang yang bahkan sebutir kedelai airmataku tak mampu merembes ke kedalamannya.

"Sayang, tentu saja aku cemburu!"

aku tahu puisi itu bukan kado... lalu kenapa? mungkin bisa saja aku cemburu pada puisi yang erat memelukmu, hingga aku ingin menikamnya perlahan-lahan.

sby, 120609

Selasa, 09 Juni 2009

Sekilas Hujan Frontal Kita



: Jingga


dari rindu bunda yang kau rendam pada pasang laut
aku ingin mengecupmu basah dan biar aku jadi gerimismu


tak usah kau menitikkan bulir bening sebiji kedelai
dari indung kelopak kunang matamu yang memerah nyala
aku tahu lukamu kemarin saja belum tuntas kau tunaikan


tentu aku bukan kenangan yang berlompatan layaknya
dia yang menaungi sebagian besar rimba isi otakmu


tentu bukan ilalang padang panjang tempatmu bermain
tentang waktu yang sebentar surut sebentar kelam
menantikanmu terlelap di peraduan sementara


aku juga bukan maharani yang anggun merelakan
setengah tilamnya untuk kau singgahi atas penatmu


dan kau tahu tak pernah ada gerimis yang mampu
memeluk elok jingga… apalagi itu jinggamu


entah berapa larik lagi harus aku guyurkan pada bumi
karena percuma, aku tak juga bisa menemuimu


mungkin ini penanda usang lain atas penemuan kita
: hujan frontal yang sekejap hilang


Sby, 080609


Sabtu, 30 Mei 2009

Prek!!


kau katakan matahari sedang tidur, Jingga.
mana?
mana?


aku tidak melihat secarik selimutnya. biasanya ia sampirkan kelamnya di pojokan sana, dicantelkan di belakang pintu fajar.


entah lah. sepertinya kau lupa, Jingga. jendela-jendela yang lupa kau buka. sungguh aku sebenarnya lebih merindu bias bulan. bias bulan yang kemudian menyelusup dari sela kaca. bias bulan yang sama jingga nya seperti mu


tapi kau seakan-akan selalu hadir di tiap penghujungnya. layaknya bimbang, yang entah kau tak mau jadi malam, segan menjadi terik atau entah kau tak memilih keduanya.


dan layaknya setiap jumpa dan pisah, kau selalu tak pernah mengucap salam. pagi kek? siang kek? malam kek? sehingga aku tak tahu, kau ini bagian dari apa.


prek!! mungkin kita bukan cahaya apapun. dan mungkin kau bukan Jingga seperti lukisan-lukisan sketsa yang kusangka telah kudekap sebelumnya.


ah, prek!!

sby,310609


Kamis, 28 Mei 2009

Pot-Pot Gua Ungu


: Gita Pratama


tak pernah ada yang menyalahkan kita bukan?
ketika kita belajar bercanda bersama jingga
yang memainkan pendulum rindu kemarin
ketika saling mengurai lembar rindu putih-abu
kita melepas kelakar lugu pada lutut hingga kaki


tak pernah ada yang menyalahkan kita bukan?
bila ada pot-pot yang kita beri nama satu-satu
kemudian kita serak berceceran di gua ungu
: mantan kenangan kita


dan mengalirlah otak kita sejalan dengannya
semacam lelehan magma yang kita pendam di dada
yang tanpa otak pun kita selalu bermain rasa
yang tanpa rasa pun kita bermain dengan curiga


mungkin pot-pot tua yang terlanjur kita serak
jungkir balik, gulung-koming, remuk
dan entah mungkin terlanjur tersihir oleh
manekin-manekin anjing di ranjangmu
kita kemudian berubah menjadi anjing-anjing lain
: entah itu manekin, entah itu bukan
siapa yang tahu?


biasanya kita akan meleleh
bila kau mulai menyedot dalam obat paru-paru
dan aku mengemut racun jinggaku
sruuuttt.....
lega


kita bukan sepasang anjing yang bercinta
entah aku sendiri tak tahu kapan kita bersenggama
atau kita terlanjur muak dengan senggama?
mengkocar-kacirkan sembab layaknya film india, katamu


seperti yang telah lalu
tak ada lagi sembab (mungkin)
setidaknya untuk satu dua jam kedepan
saat kita mulai mengucap salam
"Pagi, tuan-tuan anjing!"
"Dan silakan bercinta dengan kami"


kemudian berderailah tawa kita
"Cuma segini?"


Senin, 25 Mei 2009

Pementasan Belum Ada Judul



: Jingga


ada tarian yang coba kau legongkan pada malam-malam fajarku. duh, ada saja yang kau coba liukkan sebelum aku menutup mata kuyup basah atas rindu yang melaut.


ada senandung yang kau lantunkan dari tanah bernama jingga yang basah atas bulir hujanmu malammalam kemarin. duh, ada saja bait-bait lirik yang kau selipkan dalam sela tidurku, sementara kau tak mampu menjawab tanya yang paling tanya pada separuh bimbangku.


ada sandiwara yang akan kau pentaskan dari panggung di dasar samudra, kau beri noktah di tiap kursikursi penontonnya. duh, entah siapa saja. apakah aku? yang jelas kau tak pernah lupa mengikat topeng pada muka-muka mereka, seakan mereka yang memakai padahal kau menyelipkan lupa dari sudut riasan rupamu.


duh, entah di setiap malammalam kita aku selalu belajar berhitung. giliran apa yang kau tampilkan sebelum lelapku terbawa kelam dan lelah


duh, rupanya ini pementasan yang belum ada judul


sby, 250609


Jumat, 22 Mei 2009

Bulir Kedelaimu, Jingga




semoga kau baik-baik saja, Jingga. kau tau? hanya kau yang selalu kucemaskan

: jingga

menggenanglah bulir-bulir seukuran kedelai dari pendar kelopak mata. dan gurat jingga lampu membias sekenanya di rona pipimu. aku yakin kau masih menyisakan agenda luka yang kau titipkan pada kicau burung. kemudian padanya kau perintahkan ia menebar biji-biji kedelaimu pada ilalang fajar. entah rupanya burung bukan pembawa kabar yang tegar seringkali ia khianat pada kupu yang ingin mengecup biji kedelaimu untuknya sendiri.


di sarang kupu, kedelai itu akan ditanam pada ladang gelas kaca-kaca, disuruhnya kuda donggala yang terkuat membajak setiap jengkal lahannya, diperintahkannya sang surya terbit berkala, dipintanya hujan luruh semestinya. entah kupu hanya bisa menunggu bulir kedelaimu yang luruh menjadi bakal biji yang sempurna. entah untuk luka, entah untuk apa.


sby, 230609



Rabu, 13 Mei 2009

Sebuah Surat Teruntuk Lingga


: Jingga


sebuah surat dikirimkan kepada Lingga hari ini. sebelum dibuka amplopnya yang marun itu, ia akan bertutur tentang sebuah kisah yang sangat panjang tentang sebuah kisah Yoni. marun dipetiknya dari darah yang mengalir dari tubuh Yoni, semarun amplop rindu yang terkirim itu.


Yoni patah, berlubang, penuh bopeng, karat, bekas muntah, kencing anjing bernanah penuh luka. kalaupun ada aturan bahwa sebuah Yoni harus lenyap karena dengki yang tertanam pada tanah pekuburan, tentu saja Yoni itu akan berlari menjauh pergi, menceburkan diri dalam pasang, menjelma menjadi karang tempat sarang ikan atau gurita. namun selalu ada bisik yang menjadi kekuatan, sekuat hempasan ombak yang berdebur di bilik hatinya.


Lingga membaca perlahan surat yang diberi penanda oleh Yoni hurufhuruf yang ia jerang dari langit senja, dilabur dengan kuas ilalang dan dihaluskan dengan kapur cadas perih yang lama ia pendam. ia sudah lama menanti perpaduannya setiap hari, jam, menit, bahkan detik. ia takut ketahuan apabila mengambil banyak-banyak. jadi ia cukup mencuri helai-demi helai setiap hari secara berturut-turut.


"Kepada Lingga,
kapan kau menjemputku dengan keranda, dan kukalungkan rindu pelukku melingkarimu rebah pasrah. Dan biarkan tempatmu berdiri sebagai pijakanku, dan tempatmu bernaung adalah langitku.


Kepada Lingga,
jangan lupa ada rindu yang perlu kau bayar ketika aku telah merelakan pelukku di luasan tubuhmu."


dan seperti biasa, Lingga melipat surat beramplop marun itu, kemudian membakarnya tanpa segan di tong sampah.


sby, 140509


Sebuah Sajak Pendek tentang Jingga



: jingga


beberapa helai jingga telah aku kirimkan padamu
wahai senja, mana yang kau pilih sebagai rindumu


apakah kau tahu, jingga yang mana rinduku?



Percakapan Ilalang tentang Jingga Senja



: Jingga


sebuah senja di taman daun telah menjanjikan sebuah kisah
percakapan ilalang dengan angin dan senja yang mengakar
sulur senja telah mencapai tebing menara pelangi
mengintip dari sela beton satu dan beton yang lain


percakapan ilalang berbicara pada angin
atas rindunya pada senja fajar yang mengakar
ia berbicara atas nama rindu yang selalu berbisik mesra
tatkala anak-anak daun mulai terlelap
dininabobokkan senandung layar dan angin dari dekat


percakapan ilalang selalu membawa-bawa rindu senja
kemana suka kemana mau, bahkan ketika hujan mulai
rimis mengguyur pinggiran kota dan senja enggan turun


percakapan ilalang selalu mengucap kalimat senja
dari bibirnya dari tepi tanah pekuburan yang akan didiaminya
bahkan ketika senja enggan turun akibat bercinta
dengan awan yang terlanjur dekat dengannya
lebih elok tentu dengan lembut seperti biasa


percakapan ilalang selalu cemburu dengan waktu
yang dengan seketika menghapus senja dengan kelam
yang erat memeluk langit, atau terik yang terlanjur
mengungkal ladang dahaga hati yang kerontang


percakapan ilalang kadang berbicara bahasa burung
yang serta merta menari pulang tatkala bersua senja
sementara ilalang hanya terdiam di tempatnya
mengikuti simponi berdansa sekenanya tak bisa
bebas melanglang buana layaknya tingkah burung
mengalungi senja dengan leluasa


percakapan ilalang selalu berbicara tentang senja
: yang rindu jingga


taman daun, 110509


Sabtu, 09 Mei 2009

Jingga Semalam


: Jingga


kau menggiringku ke tanah yang basah
oleh rindu yang menggenang di ceruk dadaku
hadir romansa fajar dari sela sisi jendela
menerobos dari peluk mimpi tidurku semalam


kau dan aku menjaga masa yang berbeda
kau menghadirkan jingga dari kelam
yang erat memelukmu pada langitmu


biasanya aku akan menitipkan peluk
pada deru angin dan bisik sapuan daun
karena biasanya hanya mereka
yang tak tidur seharian-semalaman


ah...
dan hujan fajar itu turun perlahan
membasahi gersang hati yang kerontang
di akhiran kau mengecup belah dahiku
dengan jinggamu


warnet gita, 08-090509



Rabu, 06 Mei 2009

Mencintaimu Sama Dengan ...


mencintaimu sama dengan
mengguratkan namamu di atas kanvas batu
kuas jemari pilu dan aliran tetes rindu

mencintaimu sama dengan
menutup hidung dengan jaring-jaring ikan
mengendarai sepeda di tengah kemacetan kota


mencintaimu sama dengan
menyantap istirahat dengan hidangan panas
di saat siang sambil mengusap peluh


sungguh lelah utuh penuh


rindu, 060509




Selasa, 05 Mei 2009

Lepas Senja Taman Daun



: jingga


kaki yang menjejak paving taman kota
membaur musik senja perlahan surut
ada nyanyi sorai koor anak-anak daun
lirih mengurai bisik angin ragu


sebuah pesan diterbangkan kepak burung
pulang ke sarang mengalungi jingga


sungguh jingga,
aku ingin menjadi burung-burung itu
merengkuhmu malu-malu dalam rindu
mengalungkan peluk ke luasan tubuhmu


sby, 050509
*taman daun


Sabtu, 02 Mei 2009

Otak-Otak Flashdisk



entah keusilan apa yang dirupakan Tuhan
sebatang flashdisk menjelma dalam otak
semacam otak portabel dijual kaki lima
dipasang-copot satu demi satu di kenop


entah keusilan apa yang dirupakan Tuhan
hingga otak menjelma semacam flashdisk
bongkar-muat arsip serupa masalah
semacam virus dan spam rentan


jangan-jangan orang meniru Tuhan
mencipta flashdisk serupa otak murah
atau otakku terlanjur picisan
: menunggu format ulang


sby,020509

Rabu, 29 April 2009

Akrobat Rindu

Kau di simpang seberang dengan tongkat bandul yang entah
Dan ku di sisi lain bimbang

Ada titian antara kau dan aku yang entah
ada jalan yang luang antara kita

Sepertinya kita memulai perjalanan yang entah
kau dan aku enggan

Biasanya pemeran seperti kau yang entah
sampai di sisi berikut atau kembali turun

Biasanya pemeran seperti kau yang entah
menumpu tongkat bandul itu berayun sesaat
: menuju sisiku

ada titian antara kau dan aku yang entah
aku merasa yakin ada atau enyah
bukan jalan bebas hambatan
sungguh hanya ruang kosong dengan beberapa bandul

Biasanya pemeran seperti aku yang entah
menoleh malu-malu ragu mengarah pada tetamu

Biasanya pemeran seperti aku yang entah
jadi semangat berkelana di ruang kosong ku dan mu

namun selalu saja entah
ada ragu dan takut di kunang mata kita
menatap nanar ujung bandul titian
mematung dan menuli antara kita

dan apakah memang benar dan entah
bagaimana kita mengakhirkan pertunjukan kita
abai menyeberang dan turun dari sisi-sisi kita
atau membuat catatan terindah
dengan sahutan sorai di otak kepala
: kita menuju sisi kita

Sby, 300409

Selasa, 28 April 2009

Jingga yang Fajar




jingga,
padahal kau telah meminangku dalam senja
entah mengapa aku masih dahaga

jingga,
sebelum aku terlelap kau layangkan pesan surat
"aku jaga kau dengan selimut pelukku, dan biarkan
mantra kecup jadi do'a sebelum tidur"
kemudian kau di sisiku
menyalakan dian kecil untukku dengan ribuan bidadari
menjaga dari senyap malam gelap

jingga,
kau begitu erat memeluk kelam
dan aku begitu memuja oranye nillamu
maka bolehkan aku menyimpan sekerat ronamu
memelukmu malu-malu dalam bisu langit mayaku

entah berapa lama aku telah terlelap
kau menungguiku dengan jurai kunang mata kuyu
maaf aku terlalu bersemangat rindu cemas menantimu
hingga lelah lalai sesaat
biasmu menyelusup hangat dari sela kelopak mata
sementara mimpiku belum terjaga

ada kecup hangat kau tinggalkan
mengetuk rongga sadarku sesaat
kita bersua saat seru pertama fajar mencumbu rindu

ah jingga
maukah kubisikkan sebuah pesan balasan buatmu?
mungkin marutha fajar sedia menjadi pengantar
"jingga, kau telah berenang-renang dalam otakku
selama kau mau"


Sby,280409
*memeluk rindu padamu jingga...

Minggu, 26 April 2009

Jingga yang Senja













kita mencoba berpiknik di suatu senja
katanya, senja di sini senja yang paling jingga
kita mendaki gunung duka payah lelah
lalu berjalan menuruni sedepa lembah bahagia


setelah sampai di suatu dataran
kita menggelar tikar kenangan
tanpa ragu ku tuang rindu dari teko bekalku
ada bekal sekotak rasa malu di tepakmu
kita menyantap bulat-bulat rasa
entah manis, entah masam, entah pahit


jemarimu mengukir penanda di raut muka
menanggalkan sebuah kecup antara kelopak mata


ah jingga
selalu saja kau meninggalkan dia di sebuah ceruk
lingkar lehermu yang ku gapai dengan lingkar pelukku


ah jingga
selalu saja kau adalah jingga yang paling jingga
jingga yang paling senja
menyandarkan lelahku pada lapang dadamu
menikmati bekal rasa kita berdua
sehabis berkelana denganmu
: jingga


sby, 270509

Kamis, 23 April 2009

Fayakun
















Fayakun
jadilah kita dari serombongan nutfah mencari sela di selubung gua
dan gua itu suci. tak ku ijinkan maki atas benih yang menepil
sempurna di atasnya.


Fayakun
jadilah hati merah muda dari luncuran ludah menyembur di peluk dada
ada rindu yang coba kau lunasi segera. entah. apakah ada apakah tiada


Fayakun
maka mata tak jadi soal, kita memuja dengan kata. dan mata akan hilang
daya tergelincir di jurang patahan hujan


Fayakun
dan jadilah kita mengeja satu-satu nama, melukis rupa pada awan yang
entah sama entah beda. kita hanya mampu menduga.


sampai kapan kita temu muara



Rabu, 22 April 2009

Kau


: kau


sajak yang sukar ku baca
sulit ku temui
rumit ku cari arti
bahkan setelah menang sayembara
sebesar satu juta

Kamis, 16 April 2009

Pesan Setelah Hujan




: lelaki lukaku


ingin sekali aku menjadi pencuri
pencuri air hujan hatimu yang kuyup
menampung setiap tetes dalam gelas kaca


biar kuurai dalam buku catatanku
semua cerita yang menunggu dikisahkan
baju-baju luka yang kau sandang


aku yakin setelah itu
handuk-handuk akan terjejer di tiang jemuran
sehabis mengusap sembab indung kelopak matamu


kemudian kuguratkan ujung pensilku
mengabadikan sebuah penanda baru
: lengkung terbuka ujung bibirmu


sby,170409


Minggu, 12 April 2009

Entah, Bagaimana Aku Harus Menuliskan Pesan Padamu...


: lelaki lukaku


entah bagaimana aku menuliskan pesan padamu
karena begitu aku tulis pesan itu, aku akan
selalu menghapusnya dengan kata yang sama
: kau selalu berhenti menandai titik padanya


entah bagaimana aku harus menuliskan pesan
karena begitu aku tulis pesan itu, aku akan
selalu menemuimu dalam jaring laba-laba
: kau berputar pada jalan yang entah


entah bagaimana aku harus menuliskan pesan
karena begitu aku tulis pesan itu, aku akan
selalu jengah, kita bicara bahasa yang entah
: kau sembunyi di balik kurungan puring rokmu


entah bagaimana aku harus mengakhirkan
menuliskan pesan padamu, yang entah mungkin
memperhatikanku atau bahkan tidak sama sekali,
yang entah bahkan kau sendiri abai pesanmu


mungkin aku telah memikirkan kata pertamanya,
yang entah kau menganggapnya penting atau tidak,
atau entah kau belokkan arahnnya, atau entah
kau kacaukan putarannya, atau entah kau balikkan
tujuannya, atau entah...


entah...
mungkin cara kita memang hanya onggok sampah
picisan bincang-bincang tak bermuara
berakhir...


ah entah...
aku bahkan enggan memandangi langitmu (lagi)


sepinggan, 130409


*di negeri yang entah, di sakit yang entah,
di benci yang entah, di lelah yang entah...


ladang

: lelaki lukaku


kepada ladang gersang
tumbuhkan airmata
pada ceruk paling dalam
: garis baret kenangan

sby, 130409

Senin, 06 April 2009

Percakapan Musim Tanjung



: penunggu musim



pejalan,
ingatkah kau wangi tanjung
pada bunga pertama yang mekar di malam itu
kau sematkan satu tanya
"gerangan kuncup akan mekar utuh?"


jawab bunga tanjung,
pada bulan merah jingga
getah batang yang mengering
atau kayu yang menambahkan lingkar usia


hujan ini belum reda, pejalan
tanah masih basah
janji yang kau gantung pada
pucuk dahanku belum kusentuh abai


janji tanjung :
aku akan mekar saat hati merah muda


sby, 070409


Sabtu, 04 April 2009

Kembang Gula

: cinta

ahhh...
mungkin dari jurai tawa sedari tadi
ada lesung manis aku sembunyikan di balik bantal
aku bagai kanak-kanak
bermain petak umpet dengan ibu
sehabis membeli setangkup kembang gula
: manis tawamu

Sby,040409

Selasa, 31 Maret 2009

Transaksi Tak Berjudul

seperti sebuah tapak bibir mu jelajah dalam laut kenangan ku.
seperti itu pula lah kenangan kemana akan ku larung.
kita sama-sama memuja detak-detik lalu mencibir,
kita sama-sama mengarung dada


aku bahkan mengingat bentuk kancing bajumu
juga uar parfum khas bau laut dan ikan yang kau jerang
mencampurkan karamel jingga senja, melumerkan anggur ranum malam


sementara keningmu yang pekat gurat penat
entah memendam peta luka yang terlanjur biru
toh aku juga tak peduli
selama ada aku, kita akan merunut peta yang lain
: rindu


di rentang dekap yang kau bisa, ada aku melekat di dadamu
kau dan aku terkikik meloloskan kancing kemejamu dari liangnya
dari kolong sepatu aku bisa merasa
dingin ibu jari kakimu yang telanjang
entah apa yang ada di otakmu saat segitiga mrusut ke bawah kakimu
atau kalau boleh aku menduga, otak kita sedang bisu
otak kita pun telah tergantung semena-mena di kapstok lemari
hahaha, siapa juga yang mau buang-buang waktu bermain-main dengan otak
sementara dari balik selimut jakun mu sudah bergerak naik-turun


entah aku bahkan lupa bagaimana kau menulis nota
berapa malam kau mau membagi selimut denganku
atau bukan malam penghitung waktu kita,
mungkin jam, menit, atau bahkan hanya detik
dan kita pasti saling menukar mata uang
kau ingin membayar malam ini dengan,
sebuah penanda di sela puting merah muda
kukatakan,
"maaf saja aku hanya terima lembar merah muda,
dengan penanda nol sebanyak lima".


tentu saja,
bukankah ini hanya sebuah,
transaksi tak berjudul?


Sby,010409


Senin, 23 Maret 2009

Bagaimana Aku Menemukan Penanda itu?


apakah yang tersisa dari penandamu? titik, koma, atau tanya
entah...
yang ku tahu itu hanya kata tak ada penanda


bagaimana aku harus memaknai penanda itu?
entah...
mungkin aku harus mengintip dari lubang mulutmu
jangan-jangan koma terselip di sela gigi
atau titik terhenti di sela tenggorok
barangkali tanya tertinggal di kolong langit-langit


tak ada penanda kau tinggalkan dari katamu
entah...
mungkin aku salah memakna-bacai
mengira kata itu putus lalu lenyap
atau mungkin menggapai, rajuk kata yang lain?


bahkan aku sudah menjelajahi lidahmu dengan lidahku
entah...
tetap tak ada penanda kau tinggalkan dari sudut bibirmu
untuk kau tanggalkan padaku
yang kemudian ingin aku hisap, lumat, dan telan ke perutku
lalu digerus, disebarkan ke tubuhku
: sebuah penanda rindu


Sabtu, 21 Maret 2009

Reportase Tujuh-Tiga-Satu

: jiwa tujuh-tiga-satu


tujuh-tiga-satu ditandai atas tanah kosong Harbin, dalam tidur malam kami. kolera ghonorhea terlanjur melepuh di kulit kami.


bekas suntik mungkin tidak sesakti kokang senapan peluru tembus dada, tapi kami jadi tahu, kami akan berharga angka-angka atas gelambir nanah yang kami sandang di perut kami, di kelamin, di selampitan ketiak atau paha kami.


kadang tambang besi kami itu menjerit seram, tak hanya saat kelam, siang pun kau akan mendengar reportase yang mencekam dari cerobong pembakaran daging daging segar kami.


tujuh-tiga-satu ditandai atas tanah kosong Harbin, dalam tidur malam kami. mungkin setelah kau datangi kami, ada senyum-senyum beku pada tulang kaki kami, mengerak dan busuk.


tenang saja, mungkin kau bisa tidur tenang di balik selimut hangatmu. tapi kami akan nyaman di lipatan-lipatan salju selubung rindu atas burung-burung surga atau tanah kelahiran kami.


tujuh-tiga-satu ditandai atas tanah kosong Harbin, dalam tidur malam kami. penudung-penudung prajurit kami berwarna putih-putih, senjatanya sel-sel kencing kuda dibalut ilmu-ilmu kunci biologi dan sumpah raja.


kami akan menginap beberapa malam, setelah kami telanjang, digauli berkali-kali atas semua lubang tubuh kami. dan anehnya kami bisa tertawa, pada makanan kuda sisa makanan tunggangan mereka.


tujuh-tiga-satu ditandai atas tanah kosong Harbin, dalam tidur malam kami. jiwa kami semayam di dada anak-anak kami. bukan begitu?


Sby, 200309


terinspirasi setelah mabok dengan tontonan film dokumenter Unit 731.


Jumat, 13 Maret 2009

Dua Hulu itu...

: zaky hidayat, sebuah nama mesra melapuk

sebuah garis lurus ku dan mu
mendaki, berkelok, batu, terik
kadang ku terpeleset jurang
menggapai sisian akar pegangan

jurang itu sempat kusangsikan
air mata yang mengalir sembab
tulang pipimu yang mengabu
pada senja kemarin

jurang kunang-kunang matamu
membias duka pisah terlanjur berkarat
penautan dua hulu yang membuntu
luka yang luka

ku dan mu
hulu penaut yang membuntu

sby, 130309, panca penautan ku-mu

Kamis, 12 Maret 2009

Di Sebuah Hari Terakhirku

dalam sebuah wasiat terakhirku
aku menginginkan sebuah kematian terindah
selubung getah bening dirambang kelopak mawar lepas
ingat, aku hanya ingin warna merah muda

peziarah bertakziah di tepian bibir stepa pembaringan
mengecup kening dan menyelipkan sebuah asma Ilah
diturunkannya perlahan tubuh menyetubuhi tanah mula
ah... saat itu aku ingin menjelma jadi kupu-kupu

mungkin karena aku masih belum puas menggauli rindu
indung nutfah belum terpancar dari sarang
bahkan aku belum menjumpaimu
sekedar memesan kamar

siapkan sempoa
dan mari kita berhitung angka-angka senja
menjerang sayang di atas peti-peti kita
: tubuh yang beku di jurang kolong bumi

sby, 120309

Senin, 09 Maret 2009

Sepenggal Pengalaman Curut Betina dan Asu Jadi-Jadian yang Nonton si Mbek Lanangan


Category:Movies
Genre: Romantic Comedy

Melenceng dari tujuan semula yang pengen nonton si Mbek Lanangan di Royal, tapi akhirnya pergi ke Delta yang jaraknya dua kali jauhnya dari si Royal, karena efek psy war melihat antrean sepeda motor yang bujubuneng ngaudubilah puanjang... banget ampe harus mengalokasikan tiga lahan parkir, akibat hari itu hari libur alias hari Maulud'an.

Si Curut Betina dan Asu Jadi-Jadian pengen melewatkan malam berdua. Maklum udah lama gak keluar nonton bareng. Si Curut Betina harus merelakan sepeda motor tunggangannya kehilangan bensin hari itu (dan seperti itulah biasanya, kalau mereka pengen pacaran berdua. Untuk yang ini najiss... amit2 =)) )

Udah gitu si Curut Betina musti rela gayanya kebanting akibat penampilan rapi jali hem, selana jin dan sandal teplek femininnya musti dikontraindikasikan dengan dandanan super nggembel lengkap dengan celana selutut dan sandal jepit si Asu Jadi-Jadian. Ya... sudah lah... mungkin gara-gara itu mereka cocok.

Soal pelemnya sumpah.

Magak dan serba nanggung.

Hehhehehe!

Curut Betina sarankan buat para penonton adalah orang-orang yang lagi gak ada kerjaan kek mereka berdua, ato pengen nglakuin kerjaan laen dalam bioskop (*ups apaan tuh :p~)

Betewe, buat si Curut yang gak pernah baca bukunya si Mbek Lanangan, cukup tertarik juga buat mencari cinta-cintaannya yang segede Mbah Bronto gyahahahhahaha...

Dan malam itu ditutup dengan menu "Mie Remaja" sebagai berikut :
- Separo porsi Fuyung Hai Kepiting yang dikerikiti sama si Curut
- 3/4 porsi Kwetiauw Capcay dan Nasi Putih 1 porsi dilahap sama si Asu.
- 2 gelas teh hangat

dan semuanya dibayar di muka tanpa ngutang hehehhehehe...

sebenarnya mereka be-2 pengen beli si Roti Boy di Delta tapi berhubung udah jam 10 malam si toko udah bersiap2 badhe pulang.

*looo kok bahas makanannya thooo :))

ya wateper de nem mereka melewatkan malam berdua, menebus seharian kemaren tidak bersama ngejagain lapak buku Perpus nya ESOK.

Anti mah mereka dibilang pacaran najiss... amitt2


Sekian dan wassalam *halah2 =))