
: jingga
biasanya aku akan berkaca dari sinar pantul air kopi yang menghitam
serupa lubang lukamu yang kapalan, nanah dan memar ruam-ruam.
kau masih saja menyimpan luka yang kau simpan rapat dan entah untuk apa.
kau menunggu seseorang, katamu. siapa?
tak seorang pun yang mengecup hangat pelipismu bahkan dalam ruang sua
tak juga ia, yang kau puja dan simpan di balik bantal mimpimu.
kadang aku cemburu pada luka menghitammu
yang mengingatkanmu padanya
kenangan hitam yang kau kempit dan bawa pulang
kemudian kau mengendap-endap masuk ke ruang hatiku
tanpa mengetok pintu, tiada mengucap salam
memang, tak banyak yang kau ambil
hanya segenggam kasa, tetes obat merah, dan lembar kelambu
kau lupa segenggam kassa pembalut dan tetes obat merah
kassa itu kupintal dengan serpih rasa rapuh
tetes obat merah adalah tetes luka yang kau tanggalkan padaku
belum cukup?
kau koyak beberapa suwir kain kelambu dan membebat kencang lukamu
padahal, kau tahu?
kain kelambu itu aku rajut dengan kenangan lama
yang tanpa kau sadar aku telah perlahan melupakan
namun sekarang berasa ada yang hilang
dan entah setelah itu kenangan lama itu membayang di lukamu
seperti pantul kopi yang membias membayang raut lukamu
sby, 190609
*menjelang jingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar