Jumat, 10 Desember 2010

apa yang sedang kita perbincangkan, dalam diam?

aku serasa menghirup asap pekat yang kau hembuskan dari nafasmu. terasa sigaret yang kau peluk dalam-dalam adalah luka yang kau peram. itukah beban yang ingin kau tinggalkan?

sementara hujan terus mengguyur tanpa putus di beranda kamarku. entah dingin apa yang kau bagi, mungkin sedingin percakapan kita yang sepertinya kehabisan suara ditelan sunyi yang tiada ampun menghajar kita dalam malam-malam kesendirian.

dan fajar hanya penghibur sesaat, karena kita terlanjur penat pada kelam yang terlanjur mendiami kerajaan-kerajaan angkuh kita.

entah apakah aku masih cukup sabar untuk jatuh dalam rengkuh alur menunggu? atau membiarkan kau basah sendirian dalam kealpaanmu

Selasa, 07 Desember 2010

Hujan di Satu Waktu

kepada kaca jendela berembun
masih saja terpantul raut wajahnya samar
ia terbaca pada alir rintik jarangjarang

kau paling tahu
rindu sesiapa kuperam diam-diam

Kita dan Sepasang Sandal

Kita adalah dua orang anak berlarian berselinthut pandang
Kau sembunyikan bakiak, sandalku
pada pucuk-pucuk dahan mahoni tua mati ranggas
Kemudian kau tipu aku. kau katakan beberapa gagak hitam membawanya lari, namun ternyata sandal itu kau pinjamkan kekasihmu

Kemudian apa yang tertinggal sekarang?
Kakiku luka, baunya membusuk, tak tahu lagi pembeda nanah dan daki.

Tak ada yang aneh dari sandal itu, selain ukiran nama dan beberapa penanda seonggok kenangan yang belum hilang.

Kita masih bisa mengamatinya dari kejauhan. Atau bila pun tak, kita akan berjalan berpisah melupakan, menggantikan sepasang sandal itu dengan yang baru

Kau dan Aku (Mungkin) Terlanjur Lupa

kau dan aku adalah tokoh cerita lucu dalam sengkarut
apakah otak kita tercerabut dari tempurungnya?
mungkin aku saja?

aku tak tahu lagi bagaimana cara menyapamu
sudah terlanjur lupa
"hai"
"hallo"
atau entah aku sama sekali benar-benar lupa

kita ini dua bocah yang saling mengejar punggung
kau dan aku sudah lupa
bagaimana mengeja kata
bagaimana memelihara kenangan

yah
kau dan aku mungkin terlanjur lupa

terpikir untuk melempar jendelamu dengan kerikil
berharap kau melongok ke bawah
memandangku

namun lagi-lagi
kita ini dua bocah yang saling mengejar punggung
kau dan aku sudah lupa
bagaimana mengeja kata
bagaimana memelihara kenangan

ketika kau memandang ke bawah,
aku sedang memungut bebatuan
kau dan aku mungkin sudah lupa cara menyapa

kau dan aku sudah lupa
bagaimana menandai masa
mungkin bisa kutemui di garis kepulanganmu?
: Juanda

Kau dan Aku Potongan Kolase yang Tak Pernah Utuh

mengumpulkan kolase demi kolase. mozaik yang dulu berantakan ingin mulai kukumpulkan, tapi bagaimana caranya? sementara aku lupa mozaik muasal. kolase itu dulu aku suka sekali mengumpulkannya, namun apa yang terjadi bila kolase-kolase itu bukan potongan gambar yang sepenuhnya tepat saling melengkapi?

kemudian aku mencari-cari pembenaran bahwa, yah... kolase-kolase yang kumiliki adalah potongan yang sempurna yang saling melengkapi. padahal nyatanya kami hanya bermain-main imajinasi tentang kebohongan.

kolase yang tak pernah utuh itu aku pecahkan berderak ke lantai, membiarkannya.
kini aku ingin mengumpulkannya kembali?

Kolase

: penunggu malam

bulan yang menjajah langitmu
tak terlihat dari sini

sungguh!

mungkin bisa,
kucuri potongan tangkapan wajahmu
tempelkan lekat
di plafon kehitaman kamar
: kolase rautmu

Kau dan Bayangan Bulan

tak ada yang bisa menolak ketika kau sorongkan
sebuah jarum suntik dan setakar anestesi
tak ada yang bisa meski kau meluruhkannya ragu
meski kau melungsurkan hujan kau tadahkan pada cangkir kopimu

tak ada yang bisa menolak ketika kau mengajakku
menceburkan diri ke tengah telaga
telaga itu memantulkan bayangan bulan
kau ingin aku merengkuhnya erat
sedemikian erat meski kau tahu bulan dan kau
tak sebanding

apakah kau bayangan bulan yang mati?
dan kemarin sosok yang mengajakku menceburkan diri
adalah hantu mu yang bangkit kembali?

Selepas Senja Sesudah Hujan Deras Tadi

ada yang ingin kutuliskan selepas senja ini padamu
sehabis hujan yang menderas
dedaunan basah meniris-bentukkan genangan di teras

ada yang ingin kutuliskan selepas senja ini padamu
pada sebuah lagu yang tanpa sengaja kudengar
pada sebuah ingatan yang tiba-tiba menguar

kau tahu apa yang ingin kutuliskan padamu?
sepucuk surat yang hanya ingin mengetahui kabar
surat yang kuharap bisa memecah kebekuan
mungkin sepenggal huruf, sepeninggal tanda baca,
atau mungkin hanya secarik kertas kosong
kertas kosong itu hanya kuguratkan namaku saja

apakah kau paham dengan bahasa seperti itu?
seperti aku paham bahasa lukamu memeluk kehilangan
seperti aku paham isyarat air mata keterasinganmu

bila tidak,
mungkin tak akan ada lagi penanda yang akan kuberi
selain sendiri

Sebuah Surat Bertajuk Ingatan

: pemilik cerita yang itu-itu saja

seperti apa kita kiranya setelah lima atau sepuluh tahun yang akan datang
sudahkah membuang beberapa sketsa hujan atau jingga yang tersimpan?
atau aku belum juga melepas kebiasaan mencuri pandang jendelamu sesekali

seperti apa kita kiranya setelah lima sampai tiga tahun yang akan datang
sudahkah meletakkan beberapa cerita pada kotaknya
kemudian kita bisa menertawai kebodohan kita saling berselisih paham
kebodohanku mungkin, karena aku tahu
kau selalu akan lebih mudah menertawai kebodohanku

meski aku sering kali menitipkan pesan pada karibku
betapa bodohnya kau yang tak mau membalas pesan rinduku
tak tahu? tak mau tahu?
atau memang tahu, mau tahu, namun tak tahu bagaimana memberitahuku?

seperti apa kita kiranya setelah tiga sampai dua tahun yang akan datang
sudahkah membiasakan diri melewati setiap penanda arah atau jalan seperti biasa
membiarkan penanda kenangan itu hanya untuk membaca tujuan
bukan pemicu ingatan dulu saat kita bersama-sama melewati dari ujung ke ujung

seperti apa kita kiranya dua sampai satu tahun yang akan datang
sudahkah abai pada kebiasaan makan, lagu kesenangan atau celotehan nakal
yang selalu kita hembuskan perlahan-lahan pada kabel angin kita?

seperti apa kita kiranya kini sampai setahun mendatang
aku belum bisa lupa
entah kamu....

Racau

Galaksi sengkarut cerai berputaran
Matahari nabrak-nabrak
Komet terlempar
Hujan bintang gencar

Aku ingin langit marah
Marah
Marah
Marah
Menjadi-jadi

Tuhan sembunyi
Tuhan cepat lari
Ayat-ayat telanjang
Nabi-nabi rajin demo
suaranya teriak-teriak - Gak Jelas
Malaikat terbirit-birit
jatuh ia ke selokan

Hahaha lucu..!!
Lu-cu!!!

Tulisan ngawur!!
Ngawur semua!!

Pulau ke pulau musnah
Aku duduk di pojokan
Menempel di tembok
Kok bisa??

Siapa membohongi siapa
Lari sekencang kau bisa
Secepat kau mau
Senyalang pandanganmu
Berenang hingga jauh
Menyelam hingga dalam
Jangan kembali ke daratan

Dunia jadi anak yang linglung
Siapa?

kembali saja pada perahu
Yah aku coba naiki perahu
Lalu kembali ingatkanmu
bahwa biduk selalu bermuara padamu

Kembali saja ke dalam rumah
Ambil beberapa kaleng bir
selusin
tenggak semua
biar lupa

Aku tak ingin berlayar ke laut
ke danau
Aku coba ke danau saja
Di sana tak akan bertemu laut
Kemudian menyelam
Menyelam yang dalam
Terjun ke danau
Tak lupa membelitkan diri
Pada sulur lumpur lumut
tepat leher
ingat leher!!
biar mati seketika

Aku ingin mati
Yah mati saja
tapi tak mau ketemu kamu
tak juga dengan Tuhan
lalu buat apa hidup?
yah buat mati, lah...

Puisi carut marut
emangnya ini puisi??

Terserahku!!
Kau mau apa??
Sesukaku lah...

Tak mau baca??
lempar saja laptopmu
atau matikan saja hapemu
nahh mati juga kan??

ya sudah
puas??
entah..
tidur saja sana...
mungkin iya

jangan ada lagi air mata untuk lelaki itu

Dongeng Kala Lembayung

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala kepala lunglai mula rebah
pinjamkan aku satu sisi bahumu yang kosong
aku tahu sisi bahumu yang lain telah terisi

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala buku dongeng mula digeletakkan di lemarinya
bacakan satu halaman saja kembali untukku
dari kalam lama mushaf kecoklatan
syair sultan dan putri jelita
cerita tentang negeri barat dan ksatrianya
yang tak berbaju zirah
yang tak bertameng tembaga
ksatriamu adalah perempuan perkasa berdada

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala kelopak mata mula terpejam
petikkan sebuah lagu untukku
yang bukan kesukaan miliknya
yang hanya kesukaanmu
yang dari jemarimu melesaklah irama blues merenjana
yang kau suka pasti aku suka

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
separuh milikmu yang dimilikinya
sisanya aku ingin milikimu

Juanda : Balada Gadis Kecil dan Lelakinya

kurang lebih setahun yang lalu :


gadis kecil menatap lonjor beku besi penyekat
bukankah lonjor itu bicara pisah?
gadis kecil membuat hujan dari kunang-kunang matanya
beberapa kaca penyekat ikut basah

lalu lalang laju penumpang
sayap-sayap keberangkatan

gadis kecil menatap sepatu-sepatu
diketuk-ketukkan
penanda akhir perjumpaan

gadis kecil menatap nanar parkiran
jemarinya basah
ia tak ingin lelakinya pergi

derit kereta jajaran koper-koper
bagasi penuh petugas sibuk
melintas pilot pramugari bersisian

gadis kecil memasangkan kedua bola matanya
lekat
sangat lekat

lelakinya melangkah abai
tak berpaling muka
tak ada luka

disorongkan tubuh gadisnya
ke dada
dan lelakinya pergi
begitu saja

gadis kecil menjatuhkan hujan diam-diam
kaca jendela berembun
sayap bermesin pergi bersama lelakinya

Catatan : Dua Orang Gila

Berapa lama kamu disini?
Sejam? Sehari? seminggu? sebulan?

Kau dan aku adalah dua orang gila
Kita saling berebut mencari muka
luka terselip di lidah kita

Kau dan aku adalah dua orang gila
Bagaimana mungkin menggambari surya
Apa yang akan kau gambari?
Apa yang akan kau ukir?

Dua bulatan bola mata
Dari masa lalumu, mungkin?
Atau wayang-wayang yang menyelinap
Dalam sepimu
Dalam dukamu

Kau dan aku adalah dua orang gila
Kita saling berebut arah jalan
Kita menemu persimpangan

Kau dan aku adalah dua orang gila
Bagaimana mungkin?
Persimpangan itu mengakhir satu jalan
Kebuntuan?

Kau tahu?
Sepanjang perjalanan itu tak ada yang kutemu
Selain pepasir pantai mencapkan jarimu
Langkah kaki yang menelikungku, mungkin?
Atau sakit reka kepala

Ssst…
Tak ada yang tahu bukan?
Sajak yang diam-diam kutulis padamu
Berisi hanya beberapa kata

Namun tentu saja
Aku akan berulang kali berkata
Kau dan aku adalah dua orang gila
Mencari bebat luka kegilaan yang sama
Kau dan aku adalah dua orang gila,
bukan?

Kau tahu?
Kau dan aku adalah dua orang gila,
bukan?

Aku membencimu
karena aku mencintamu dengan sangat.

Kepada Senja

Apakah matari esok masih kan bersinar?
Bila iya, tahan saja
Biarkan ia alpa
Gantikan jinggamu
Selamanya, tak apa

Karna ku takut
gelap malam larut
Karna ku rindu luruh hujan turun
saat fajar kecup ubun-ubun

Sebuah Berita Sehari Setelah Lebaran

: KL + IBRA

dan mencarilah aku dari layar telepon seluler sebuah detak yang kehilangan rimba, ia sempat tersesat di dalam labirin rahimmu, memelukmu dengan erat, melindungimu seperti kau memanjakannya dengan sujud dan do'a baik atas setiap kelahiran yang akan kau songsong. tapi kau menantikan sebuah titik yang kemudian kau yakini sebagai sebuah garis datar, sebuah kepulangan.

ia menjelma pergi pada sebuah kabar pagi, sehari setelah seru kemenangan menguar di keheningan sepi lalu. dari beberapa gurat pendek alfabet.

kau tahu, langitmu telah mendiami langitNya dan menemanimu kelak bila kau sudi berjuang atas sebuah pertemuan yang dijanjikanNya entah nanti suatu ketika.

di tengah gegap riuh kalamNya, ia terlahir dengan sejuta puja-puji malaikat yang menyalakan lentera malam yang lebih indah dari seribu bulan, bukan? dan kau mengingatkan bahwa kalian akan bersedekap menyebutNya bersisian dalam takbir di malam penuh kesucian

tapi tenanglah sayang, kesucian ia akan kembali pada kesucian, dan ada yang masih harus tertebus pada sebuah janji saat ia menggantungkan mulutnya pada luang hidupmu : perjalanan bersama ke nirwana

dan tentu sayang, mencapai nirwana bukan lagi sebuah perjalanan. yang dipercepat, bukan juga sebuah perjalanan sekejap.

namun kau akan menjalani kerumitan-kerumitan lain yang tak kalah peliknya dengan sebuah kehilangan. dan susul menyusul dilema yang tak kalah riuh dan hebatnya.

dan ingatlah pada setiap ketiadaan akan terbit kelahiran yang baru. karena tak ada kesiaan dari sebuah kesakitan, tak ada yang terbuang dari segala yang hilang.

dan hidup adalah jalan berbuat salah dan mencoba memperbaiki kesalahan.

Sepenanda Sunyi yang Hilang

Jalan lengang kaki berjelaga,
setapak mengerut kerdil
Orang-orang asing tatap terpicing

Serangkaian tetak masa mengusang
penanda luruh
Halaman buku ingatan terbakar
ruar api enggan menghindar

Ada yang larut
ketika pandang menoleh
Lidah tuli
mata membisu-kebas
telinga membuta.

Tik tok sepenunggu waktu diam
sepenunggu waktu hening

: tak ada sunyi yang lebih sunyi
dari sekedar hati disajikan santap bersama

Hikayat

kupu-kupu mengkerut kepak sayap

kepompong di ujung dahan

tak ada sisa selain niscaya

: perubahan

Minggu, 24 Oktober 2010

Testimoni Perpisahan




ada yang berubah
dari siluet hujan basah pelataran
angkuh menjalar di pori tubuh
sedetikpun aku tak melongoknya
terlanjur lena aura asing sendiri

suara rintik beradu atap rumah
mengiringi tawaku
mengucapkan sekalimat penanda

"selamat tinggal kenangan hujan,
ku tak pernah bisa membencimu sedikit pun"

Setelah Sebuah Surat Dikirimkan Hujan

1/
sebuah surat terselip di jendela
kemarin hujan disana
dihantarkannya, mungkin

aku melihatnya
dari sudut sedikit terbuka
hujan mengendap-ngendap
memasukkan surat itu disana

sebuah surat yang biasa
tapi cerita tidak

mendongenglah surat itu
tentang anjing khianat
menyalak masa lalu
tentang luka
tentang langit abu-abu
tentang pucat bulan
tentang gegap sesak
tentang jelaga

surat itu dari hujan
entah ia hanya kurir?
entah ialah sang pengirim?

2/
semalam kemarin gadis itu mematut diri di kaca
pemerah pipi dan gincu
tabur bedak sana-sini

istananya memang dari kaca
ia hidup di botol kaca

entah mengapa
seekor anjing bodoh tersesat di ceruk botol
jatuhlah ia
ditolongnya anjing itu oleh si gadis
dibebat lukanya

si gadis mungkin sakit jiwa
atau entah sakit mata
si anjing tak sengaja ataukah sengaja
mengecupnya
anjing jadi lelaki

3/
hujan mengutuk seorang lelaki
jadi anjing kurapan bodoh

ah...
tapi bukankah itu sihir manisnya?
semakin sayu pendar mata
semakin iba terbit di kepala

anjing melangkah
mengharap kasih
terperosok juga ia ke lubang botol kaca
...kasihan...

Senin, 30 Agustus 2010

Lima Lembar Daun Akasia

Lima lembar daun akasia jatuh luruh dari tangkai menjamah sepatu kulitmu. Sepatu yang tersemir begitu mengkilap hingga satu-satu luruhan dedaun samar-samar terpantul bayangnya di sana.

Lima lembar daun akasia jatuh luruh dari tangkai menjamah sepatu kulitmu. Salah satu tertinggal tak mau menyentuh aroma tanah, tak rela jadi hara. Memilih kau bawa pulang, menjadi apa saja seperti penanda bukumu atau pengingat kenangan yang usang.

Satu lembar daun akasia tak mau jatuh luruh pada aroma tanah itu, aku.

Rabu, 18 Agustus 2010

Bayang Sungai Kenang




bias keemasan jatuh di tepi sungai
mengarak darah luka beberapa musim dulu.
kekalahan terbias di pantul riak kecipak,
beberapa jentik usil serupa kenangan.


tak seberapa luas genang alir sungai itu.
tak seberapa jelas geriap terkandung di dalam.
yang jelas, tak ada bayang lain selain rindu
masa setahun yang lalu.

Seekor Ikan, Pemutar Musik dan Kenangan Tentangmu

pada suatu ketika yang dulu,
kau bercerita tentang ikanmu,
tentang pemutar musikmu
tentang sebuah nama yang kau beri padanya


ikan itu tersapu gelombang airmata,
kemudian sebuah nama yang sama dengan ikanmu,
kau berikan pada pemutar musikmu.
lagi-lagi terhapuslah nada bahagiamu
oleh gelombang yang sama

: airmata

masih tentang pemutar musikmu yang kau beri nama
sesuai nama ikanmu yang tersia oleh gelombang airmata.
sesungguhnya aku ingin menggantinya dengan simfoni lagu tidur
untuk melelapkanmu dari penat sekian lama.

Senin, 02 Agustus 2010

Kepada Agustus : April yang terlambat


: penjaga Agustus

dedaun yang terlanjur manja pada rinai hujan yang cukup sepanjang tahun bahkan ketika agustus telah tiba mulai enggan berkompromi pada terik yang seharusnya datang saat april mulai menapakkan jejari hari-harinya di tahun ini.

mungkin musim yang keliru masa ini sejalan dengan perjalanan rindu yang semakin memupus seperti warna lembayung kemarau yang usang berpulang pada rumah salah bulan.
mengerling lah kenangan, mengerling lah waktu bercinta menggantikan jiwa-jiwa kosong sehabis lena tak ada daya tertinggalkan. semua reka menanti terselesaikan sekejap mata seiring usia yang surut suram digerus senja hidup seperti digariskan.

sungguh menunggumu adalah sebuah kesempatan lalu yang berangsur-angsur rela aku lewatkan meski mungkin menghabiskan terlalu banyak slot dan plot lembaran takdir yang terabaikan.

Sby, 31072010

Kepada Karet : Kau bertanya siapa dia


: a game

aku hanya mengatakan ia hanya selembar gambar yang mengisi masa laluku, kemudian kita membisu.

kepada karet, ada rimbun yang menyembunyikan kunci dan gembok di bilik dasar jantung kita. ada mutiara-mutiara yang terlanjur terselip antara lepas dedaunnya
kepada karet, roda-roda yang menggasak jelujur hatimu, merusak sepenggak harap yang kau punya. sungguh, ia hanya selembar gambar yang menghuni sudut kenangan. meski berulang kau tanya, jawabanku tetap sama, tak beda.

kepada karet, kita membeku tak ada yang mampu melumerkan karang di kerak jantung kita. bahkan gerimis yang terlanjur tiba-tiba mengguyur kotamu. meski aspal-aspal basah oleh rinainya, meski angin berebet ke arah laju motor kita, tak pernah ada yang tahu apakah rasamu juga basah kemudian mengering diterpa bayu.

kepada karet, kau dan kau memang pandai bermain rasa, dan jumpa dan pisah akan selalu terasa sama, seperti jangka peluk ku lingkarkan di pinggangmu.

yah dan sudut-sudut pikirku hanya coba menjawab, selamat datang pada sebuah permainan, dan kita mengakhirinya dengan indah dengan hujan basah yang tertahan yang akhirnya muntah senja itu.

smg, 29072010

Sabtu, 17 Juli 2010

Sebuah Catatan : Rangkuman berita koran rindu



berita pagi ini adalah berita tentang aku, isi otakku dan kenangan tentangmu. lima halaman dan tak banyak.

halaman pertama berisi tentang ;
sebuah berita peringatan celaka. ini sebuah kesalahan, kau telah memampatkannya dalam ruang tabung gas rindu. maka menyesaklah aku terkurung disana, mengangan disitu. jangan salahkan aku kalau tiba-tiba rindu itu bisa terpicu kemudian meledak akibat kau tak mampu mengamankannya dengan hadirmu.

betapa berat menanggung beban rindu tiga kilogram di otakku dan dua-puluh-lima kilogram di dadaku. tak usah kau sangsi atas neraca isi gas rindu itu, kesemuanya asli tak sedkitpun aku berniat mencampur dengan sumpah serapah basi tentang janji palsu atau rayuan seribu tiga. kau yang lebih tahu aku tak lebih pandai merayu daripadamu.

halaman kedua berisi tentang ;
harga yang semakin meninggi bahkan untuk seporsi soto ayam dan bila kau masih kelaparan dan ingin menyantap tandas sepiring gado-gado kita mesti berkorban menangguk saku lebih dalam lagi daripada terakhir kau mentraktir ku di sebuah warung sederhana sebuah kompleks perumahan dekat sekolahan. harganya sudah naik beberapa keping mata uang daripada dahulu...

dan ah... rupanya harga perhatianmu pun ikut-ikutan terkena inflasi, sama seperti seporsi soto ayam dan sepiring gado-gado yang bahkan setakir kecil sambalnya sudah tidak terasa pedas lagi akibat harga cabe yang sudah sangat melambung tinggi.

halaman ketiga berisi tentang ;
ancaman teror yang kau bawa. serupa dar-der-dor pasukan pamong praja yang akan mengejar-ngejar pedagang kali lima saat mereka menyuapkan beberapa bulatan-bulatan pahit hasil ia mengais debu jalanan. sekejam itukah bayang wajahmu sehingga sanggup meneror lelapku?

kenangan yang senantiasa memburuku di setiap jengkal ruang yang kita habiskan bersama, meski dalam waktu yang sesingkat-singkatnya seperti kata bung karno bilang dalam teks proklamasi negeri kita.

aku tak mau yang sekedar sesingkat-singkatnya, tuan...

sung-guh...

halaman keempat berisi tentang ;
sebuah sketsa insan yang tak harus dicampuri urusan perkelaminannya dalam tayangan-tayangan investigasi. ah... apakah mereka yang menonton tengah dingin dengan pasangan masing-masing? sehingga perlu dihangatkan dengan tayangan seksi yang mereka kata pornoaksi?

kalau benar, tontonlah kumohon sesekali. siapa tahu tayangan itu bisa menghangatkanmu. jangan bilang aku seronok. kau sama sekali serupa dengan karang es yang membisu. sama dan tak sejengkal pun beda.

halaman kelima yang adalah halaman terakhir berisi tentang :
sebuah berita ringan tentang berita perjalanan, mengunjungi kota-kota asing. kau tahu, perjalanan itu mengingatkanku pada sekelumit perjalanan singkat kita. menyinggahi beberapa titik untuk sekedar memberi penanda. ya... di kotaku.

kau tahu, bahkan kota ini menjadi kota yang aku takuti. aku takut mengejar harapan-harapan itu. harapan itu bisa sangat menyembuhkan, menyempurnakan tapi lebih sering membunuh mematikan. untuk itu aku ingin mengunjungi sebuah negeri yang asing saja, hanya menjadi seorang pejalan membawa bekal tak seberapa, secukupnya saja. menerbang-bebaskan gelembung-gelembung harapan yang sudah cukup lama kuperam di kepala...

sung-guh...

aku hanya ingin membebas-lepaskan segala kenang-bayang tentangmu...

kututup koran pagi itu,
Tuhan, bisakah takdirMu kucurangi? Agar jalan hidupku menemu muara padamu, dan begitu juga mu padaku...

Selasa, 13 Juli 2010

Kepada Kenang : Ruang yang Mengurungku


dari ruang penjara rindumu,
aku menatap hujan jatuh luruh.
basah kaca-kaca jendela buramku

selalu saja ada rindu
menggerogoti tulang-tulangku

seperti pengerat yang tak asing
menipiskan lembar demi lembar
keputusan yang kubuat.

aku pertanyakan,
mengapa kau selalu tak pernah asing
dalam ruang kenangku.

kau meninggalkan banyak tanda mata.
serupa luka di dada
jarang-jarang keranjang.

kepada kenangan : kau garami kembali luka itu dengan manis cuka, hujan asam frontal, mendung menggantung beku di sepanjang dermaga penantianku.

Jumat, 09 Juli 2010

Kepada Musim : Sebuah pesan berisi penandamu


: C.I.N.T.A.

sewaktu Ia memilih musim untuk kita, pernahkah mengajak kita bicara? yang kutahu kita hanya bisa terima segala taut yang Ia mau, bukan? ah... jangan bilang malaikat keliru perhitungkan musim. hujan turun dalam gersang nan asing. reranting randu mulai bingung kapan ia memulai merontokkan serat2 halus kapuknya. entah ia harus menyalahkan siapa, karena tak ada angin kering sehembusan pun yang turut di musim yang salah waktu ini. zaman mulai bosan pada lingkaran yang terus saja berputar pada kesamaan edar. antrikan kita dengan serangkaian peristiwa namun tak pernah mempertemukan.

gagapkah waktu membacai rasa kita? ujar yang sepertinya menggagap seketika itu kita mula. sejujurnya aku benci aksi yang kau luncurkan padaku. tik tak yang kemudian sekejap menggagu.itukah yang kau mau? apakah aku kemudian bisa mengulang waktu? netralkan sekelumit rasa tertinggal dalam kalbu.

Rabu, 07 Juli 2010

Sebuah Pesan Hujan yang Tertinggal



siapakah yang akan meninggalkan kemanisan juli? yang bisa kukatakan, “bungkuskan aku sebuah paket tarian hujan terakhir dari bulir ruammu”. “aku bungkuskan sesuatu untukmu”, begitu katamu. “hujan rindukah itu?” tanyaku, namun kau tak juga dapat memastikan.


resap tanah lepas yang terus saja banjir bukanlah hujan rindu, dan kau pun tahu itu. entah itu banjir darah yang alir sungai, atau air kering dari paru-paru yang enggan lagi menghembus uap udara saat aku mendekap-kecupmu. “zahidkan saja semua itu”, begitu katamu dalam bahasa cuaca teramat lirih. “apakah itu yang kau mau?”, gumamku pada usang hujan yang tak mau pergi.

gurauan bisu kita kian membabi buta. ujar yang lebih diam dari sirna derit waktu. sahaja yang lebih syahdu dari sekedar singkap rindu. tahukah kau membusuknya kenangan itu? ia menjelma kerapuhan masa lalu. antarkan saja aku pada pembuangan akhir. nasibku (mungkin) digariskan di situ.



sby, 07072010

Rabu, 23 Juni 2010

Sebuah Episode Senja Bandara



: lelaki itu (dulu)


segaris lintas jarak terlipat satu waktu
kau ada di situ, memelukku
bening kaca simpan bayang buram kenangan
jangkar lengan kau kalungkan
kau mendorongku jatuh
mendekap kecup kedua pipimu


adakah ini jadi senja yang panjang?
dan periode yang tak ingin ku akhiri


jawabannya ada di situ
di beku lantai marmer merekam kita
kedua pasang langkah kaki melekat hadap


entah mengapa
aku menjadi membenci deru mesin bersayap
mengantar kepulanganmu


dan
segaris lintas jarak terlipat satu waktu
aku tak peduli tatap-tatap mata nanar mereka
selepas kau pergi
hujan jatuh di kelopak mataku
tak bisa kutahan


juanda...



Minggu, 20 Juni 2010

Sekumpulan Surat yang Tak Terbaca


Kepada Jingga :

Aku tak pernah tahu kepada siapa lagi hati ini akan termiliki. Setahun yang lalu aku menyusun puluhan bahkan hampir berbilang ratusan surat rindu untukmu. Entah kau membacanya atau tak. Aku tak peduli. dan sampai kini aku masih mengumpulkan lagi dan lagi.

Aku tak pernah tahu kepada siapa lagi hati ini akan termiliki. Dua tahun yang silam aku sama sekali abai padamu. Beberapa surat yang kutahu hanya kukirimkan pada angin. Dulu aku hanya mereka-reka surat-surat itu. Dan setelah aku mengenalmu, membaca seluruh cerita hidupmu aku belajar menulis beberapa pucuk surat untukmu. Beberapa aku kirimkan dengan berani, beberapa kukirimkan padamu tanpa nama, beberapa hanya aku sampaikan pada sahabat karibku, dan beberapa harus ku pendam sendiri.

Aku tak pernah tahu kepada siapa lagi hati ini akan termiliki. Bahkan dalam surat-surat itu aku selalu menuliskan penandamu. Sekadar untuk mengingatkan bahwa tak pernah ada baris kenangan yang putus ataupun terlupa tentangmu. Aku menyebutnya sebagai memoar singkat tentang sebuah ingatan.

Aku tak pernah tahu kepada siapa lagi hati ini akan termiliki. Hanya beberapa tahun aku mengenalmu aku sanggup mengeja beberapa huruf, menerjemahkan bahasa cuaca yang lewat di kotaku. Ketika kau datang padaku beberapa bulan yang lalu, kita merekam beberapa potongan gambar dalam ingatan kita, ingatanku mungkin. Ah benar, mungkin kau juga sudah melupakan.

Aku tak pernah tahu kepada siapa lagi hati ini akan termiliki. Beberapa bulan yang lalu kau membuatku luka nganga. Siapa dia? Namun tetap saja aku tak pernah putus memenggalkan beberapa bait rindu yang tersisa dari beberapa hujan yang kutangkap dari perihku. Aku tak pernah tahu sebenarnya untuk apa. Meski beberapa teman menyarankanku untuk berhenti memikirkanmu, perlahan-lahan mengikis kenangan itu, namun aku tahu dan ku yakin kau pun tahu. Aku tak mungkin pernah bisa.

sby, 20062010 Ditulis sekitar sejam yang lalu · ·

Senin, 14 Juni 2010

Love Me Luna


Love me luna
Like a bit lunatic days we had
We fought, we yelled

Love me dear my luna
Like a bit lunatic days we have
We crawling through our bed
Done nothing

Love me dear my damn luna
Like a bit lunatic days we've gonna have
Painting our body with pain
Teasing our weep with mourn

Love me dear my lovely luna
Isn't there love between us?
Or me just another your 'it'?

Sby, 12062010

Senin, 07 Juni 2010

Sebeku Itukah...


sebeku itukah
hati yang menjadikanmu marmer yang segan melumer? tetap saja menetak diam pada waktu yang enggan berdetik henti pada putaran yang ditetapkan


sebeku itukah
perjalanan yang membawa kita pada saling meratap harap pada satu penemuan satu sama lain? dan ujung-ujung jemari masih enggan menyentuh tautkan satu sama lain? tak ada malam-malam berpagut, ranjang-ranjang mati dan ujung-ujung kelim alas tidur yang basah


sebeku itukah
kenangan yang selalu mengingatkanku akan rindu pada musim-musim yang selalu berganti, dan cuaca yang selalu saja gemar membohongi setiap perubahan ini? bukankah ada masa saat kita memadu-nyamakan masa lalu yang membelakangi kita dengan luka dan duka yang ku tahu tak pernah henti menggerogoti otak-otak bebal dan lipatan labirin cerita dulu nan kelam?


sebeku itukah
otak yang menjalari kerangka kepalamu? tak satupun penanda yang kuberi menjadikanmu membersitkan sedikit arti pada sekelumit kisah yang telah kau bagi lebur bersamaku, atau dongeng sepi yang aku racaukan padamu tentang itu-itu saja dan tak pernah henti kita lumat hingga hari mengakhiri detak usia nya?


sebeku itukah
dirimu terhadapku, hingga kau bisa abai atas semua yang kita lalui dan tak sejelarit pun rasa itu merasuk di kedalaman samudramu? atau memang diriku yang terlanjur mempunyai cinta yang membeku terlanjur ku fosilkan pada dinding-dinding rindu yang tak akan pernah dengan mudah terbebaskan atasmu.


dan sebeku itukah kau dan aku?

Kamis, 27 Mei 2010

A Lonesome Lullaby


1/
aku dengar detak jantung asing di sela tidurku
ku kira itu suara detak jantungmu
mengendap masuk menghampiriku
namun aku keliru
itu hanya detakku sendiri
bicara atas nama sepi

aku lihat bayangmu dari pantul titik hujan
basah mengembun dingin
meluluh leleh selubungi jendela kamarku
itulah hujanku
luap resah cemas tak henti tak tentu

apakah kau tahu?
kau selalu menyimpan beku sepi
dalam tidurku
dan hujan jadi simfoni

2/

geretak geligi dingin melemahkan raga
lemah lelah kaki tersuruk

memandang cadas bukit
tanpa dasar

aneh
aku menemu pantulan
bopeng wajahku sendiri di dalamnya

bila laut telah luap menampung
titis hujanku ku alirkan ke sini saja?
bukankah seperti itu seharusnya?

ruang kosong itu me-nglegena
menjadi muara jiwa nan sepi
: jatuh tubuh mengecup bumi

3/
langkah bukan lagi menjejak
memaksa daki pecut mengawang

bibir tak henti merapal mantra
tangan membahasa
hati memungkah tabir

bila rasa henti menaut
biar pisah mula turut

Senin, 24 Mei 2010

Mencatatkan Beberapa Kenangan


: kepada pemilik jingga

dan apakah seperti itu kenangan kita?

mengelupas perlahan layaknya dinding di rumah seorang karib yang telah lama ku kenal? dinding itu telah mengukir sendiri jumpa kita, memberi penanda sendiri. dan apakah seperti itu penanda yang kau mau? dinding yang beku memfosilkan jumpa kita?

dan apakah seperti itu kenangan kita?

melayang diterbangkan angin malam? layaknya sorai tembang anak-anak daun, atau rerumput kering yang terserak tak karuan menanti masa menghancurkannya. mengikis segar hijaunya melapuk menanti coklat kemudian terserap menjadi hara?

dan apakah seperti itu kenangan kita?

meninggalkan kaca-kaca bandara merekam dukaku? tak ada yang tersisa, melainkan lelehan air mata yang mengikis serpih-serpih kulit mati di pipiku. tak ada yang tersisa, melainkan lembar-lembar tangan yang mengusap kelopak mataku.

sayangnya, kau terlanjur tak ada di situ. meninggalkan peluk yang karam di ujung langitmu. janji yang terlanjur basi, dan beberapa pesan yang tertulis di halaman-halaman buku.

sby, 25052010

Selasa, 18 Mei 2010

Catatan yang Kucuri dari Senyum Sabitmu


: sekelumit kenangan tentang jingga fajarmu

sepagi ini masih kulihat senyummu di langit kelam. ah... itu hanya senyum sabit yang kebetulan nampang di awang-awang. cuma kebetulan. hanya kebetulan. itu kebetulan saja bukan?

tidak ada yang berubah selain berebet angin yang seperti tak punya tuan. menghembuskan nafasnya perlahan sekehendak hati, sesuka mau. cuma kebetulan. hanya kebetulan.itu kebetulan saja bukan?

mungkin kau masih ingat beberapa sajak yang tak selesai yang kau gantung malu-malu. atau mungkin itu sajak yang sengaja kau gantung sembunyi-sembunyi? kau takut cericit burung mengeriapkan celoteh kabar pada segala penjuru. cuma kebetulan. hanya kebetulan. itu kebetulan saja bukan?

mungkin juga bangku kereta roda empat yang membawa kita masih mengingat hangat celoteh mu? atau tawaku yang memerah semu? mungkin kau masih mengingat pada ramah kusir kita. mengintip dari sela cermin kereta? cuma kebetulan. hanya kebetulan. itu kebetulan saja bukan?

atau... kalau tak juga kau ingat. sebaiknya kita sudahi malam kita. tak usah memasang penanda. tak usah sampaikan pesan apa-apa. tak usah meninggalkan jeda. dan kita biarkan bulan memasung kita pada kelak yang paling sunyi.

sby, 1905010

Senin, 10 Mei 2010

Tunjukkan Aku Jalan Pulang, Sayang




tunjukkan aku jalan pulang, Sayang.

kau gantung lentera merah menyala pada atap rumbia rumah yang kita bangun bersama. tak ada sekat di dalam. hanya ruang milik kita, seperti hati kita menyatu lekat dekat.

tunjukkan aku jalan pulang, Sayang

kau tebar lilin-lilin kecil pada setapak berbatu menuju rumah kita. ah... aroma jalan itu mewangi melati seperti yang aku maui. nyala pelita bertarung sekuat tenaga menahan hempas angin yang iri pada elok kemesraan kita di penghujung senja. sesekali di tiap penanggal bulan, langkah kita diterangi nyalang nyala rembulan yang tesenyum menyaksikan kita.

tunjukkan aku jalan pulang, Sayang

dan syahadat dan sumpah suci dari ujung bibirmu menjadi pelindung kaki-kaki kita melakui kala, melalui bahaya.

Kamis, 18 Maret 2010

Catatan : Kita dan Sepasang Burung


semoga Tuhan menciptakan kita seperti sepasang burung. kemana pun kita melanglang buana, memamerkan sayap-sayap kokoh kita, menerjang angin, menggapai matahari, kau dan aku akan kembali pada tempat yang sama. kau membuat sarang untukku menelurkan bibit-bibit kasih kita, bergantian saling menjaga, mengajarkan anak-anak kita melebarkan sayapnya, menerbangkan mimpi-mimpi mereka, seperti mimpi-mimpi kita yang telah kita lalui saat ini.

mungkin seperti demikian harapan kita. namun bagaimana bila ada anak-anak kita yang tidak menginginkan untuk terbang? bagaimana bila ia menginginkan untuk memilih bersahabat dengan ikan? bagaimana bila ia menginginkan untuk belajar berenang? akankah kau memberi kesempatan pada mereka, mencoba apapun yang mereka mau? mendapatkan pelajaran dari jalan pilihannya sendiri.

dan dalam hal ini aku akan berkata, biarkan ia dan Tuhan yang memilihkan jalan takdirnya. seperti Tuhan yang telah memilihkan takdir untuk kita, sehingga bersama.

sby, 18032010
white castle

Senin, 15 Maret 2010

Catatan : Apakah aku bisa membencimu?


apakah aku bisa membencimu?

setelah aku begitu sulit menanamkan cinta, setelah kau mengatakan cerita bohong tentang negeri masa nan masai mu. padahal itu perjalanan yang mempertemukan kau dan aku. kau mencabut bunga-bunga mekar di Aprilku, tidak menyisakan hujan di Aprilku, yang segera akan tiba.

apakah aku bisa membencimu?

setelah aku begitu sulit mencari formula obat rindu, setelah kau mengatakan "kau boleh rebah di dadaku, sepanjang kau mau". namun bukan seperti itu, rindu tak bisa saling menyembuhkan, rindu hanya saling meredakan. dan seperti malam-malam kemarin kita mencumbu dan sekejap itu pula kita berselisih-seteru dalam diam. kita ini apa? kita ini siapa? sedang apa? dan yang paling penting, hubungan macam apa ini?

apakah aku bisa membencimu?

setelah aku begitu sulit melawan egoku, setelah kau membaurkan warna langit mu di pekarangan rumahku. sebenarnya aku membenci terik, namun bila itu fajarmu aku begitu rindu. kau tentu tahu mengapa bukan? karena fajar menyegarkan, karena fajar membangkitkan gairah ku kembali. kemudian kau masih berputar-putar pada alur waktu itu, datang dan pergi sekehendak mau.

apakah aku bisa membencimu?

setelah aku menuliskan begitu banyak catatan penanda, setelah kau meruapkan aromamu ke penjuru ruang dan waktu ku. sebenarnya aku membenci ruar teramat manis wangi, namun ruarmu menguap meresap ke aliran ragaku. ruarmu menenangkan.

apakah aku bisa membencimu?

dari tokoh dan alur yang kau ciptakan dari imajimu, sementara kau mengelindan berkelebat terlalu sering pada ruang otakku. penuh! mungkin demikian seiring dengan lirih desau angin yang selalu membawamu datang kemudian pergi sekehendak hati, begitu pula saat kau menjauh...

Kamis, 11 Maret 2010

Sebuah Catatan Insomnia

bagaimana cara aku mengatakan aku rindu sajakmu? sementara tak kutemu satupun penanda kehadiran darimu?

mungkin penanda itu terlanjur terbang bersama angin, sembari membawa ruar aroma tubuhmu. atau yang mengapungkan bayanganmu bersama biduk, bayanganmu yang menguntit layarnya menjauhkanmu dari pulauku.

atau kau telah menjelma gerimis, menyesap hilang pasrah atas terik. tolong jangan tunggu hingga april, aku tak ingin kehilanganmu hingga kemarau menghapus jejakmu...



sby.11032010. 00.08

Jumat, 05 Maret 2010

Hitungan Langit Mendung



: lelaki-ku (dulu)

aku mula menghitung
langit digulung mendung

masa yang sama
tanah yang sama

tak ada kau di situ
lelaki senja berpayung jingga

aku mula menghitung
langit digulung mendung

rintik yang sama
alir yang sama

tak ada kau di situ
lelaki hujan meruap pelukan

aku mula menghitung
langit digulung mendung

jantung merah muda
geletakan sepanjang jalan

tak ada kau di situ
lelaki kenangan menebar kelupaan

Selasa, 09 Februari 2010

Lewat Tengah Malam : Kenangan mencari jalan pulang

kepada malam yang menelikungku dengan sepi
fajar yang tak lagi memberikan jingga matari
robeklah dada-dada pagi dengan abu-abu mu yang pekat
curahkan hujan dengan warna amis darah dari luka ku

kemudian kotak-kotak tergeletak begitu saja
tisu-tisu terburai dari kedalaman perutnya
ia melumat titik titik airmata
menitis lelah dari kedua binar pelupuk retina
: sebuah tangis paling sunyi

ia mencari otak kenangan yang terlupa
kemana pergi?
dimana?

dan ia hanya mendapati siluet wajah memeram bisu
sebuah tanya melulu terhembus dari lubang waktu
sampai kapan kau angkuh menjemput peluk lekuk tubuhku

sampai mana tadi aku meracau?
ya, kau telah mengingatkanku akan lembar memori karam

dunia telah menjadikan kita seperti boneka
memesan sendiri peti mati dan keranda
melumuri tubuh dengan wangi dupa
kemudian mengalungkan sela leher
rangkaian melati yang tak pernah layu

ahhh...
betapa wangi kenangan telah menganestesi kita
menutup pori-pori simpatetik kita
begitu kejam memutilasi tubuh kita
merajangnya menggelambir suwir-suwir teramat kecil

hingga ini mungkin bagian yang membuatmu tertawa pias
ruh-ruh kita akan berjalan sendiri tanpa raga
: dan sepi...

sby, 10022010

Selasa, 02 Februari 2010

Sebuah Surat yang Terkirim di Bulan Januari



: lelaki-ku


sebuah februari yang sama akan datang bukan?

meninggalkan januari yang membuat kita mengelebat dalam peluk dan kecup yang kau kalungkan menjelang aku lelap. beberapa kenangan usang yang mengintip di sela-sela lubang angin dan selampitan jendela kamar mencoba menerobos masuk menunggangi dingin yang datang bersamaan dengan angin dan musim penghujan yang tak pernah kering di bulan itu.

sebuah februari yang sama akan datang bukan?

meninggalkan januari yang membuat kita menjadi satu, kemudian luluh bersama (lagi-lagi) bersama hujan yang tak henti mengucur dari rindu awan yang menggantung. itu rinduku, hanya rinduku mungkin. dan sama sekali kau tidak memperdulikannya. kau takut pada hujan yang mengguyur setiap penghujan. mungkin kau takut hujan itu akan melumerkan batu di hatimu menjadi keping-keping yang teramat kecil, tak bisa kau rakit menjadi suatu monumen tugu kesombongan yang baru.

sebuah februari yang sama akan datang bukan?

meninggalkan januari yang seperti tahun lalu aku masih memendam ragu rindu yang kupikir tak mungkin bisa kupagutkan pada batu hatimu yang rentan akan cuaca, tak tahan akan iklim yang senantiasa berubah sekehendak hati sepanjang waktu. dan bukankah seperti demikian cuaca? layaknya perasaanku yang bisa berubah mencari celah mencoba masuk menyatu dalam raga batu hatimu.

sebuah februari yang sama akan datang bukan?

penanda rindu yang satu persatu aku tanggalkan dari dinding kusam kamarku. sebuah bulan tatkala aku masih sendiri dan kau tak ada di sana, menjagaku.

27012010

Sebuah Pesan Pendek Tanpa Satu Huruf pun di Dalam nya


ingin sekali aku mengirimkan sebuah pesan pendek kepadamu yang tidak berisikan satu cuil penanda huruf ataupun tanda didalamnya. hanya sebuah pesan pendek kosong tak bermakna.

itu adalah kebekuan yang aku kirimkan padamu lewat sebuah pesan. kebekuan yang selama ini terkirim lewat angin akibat pertengkaran kita yang setelah berhari-hari tiada mengumbar kata secuil pun di dalamnya.

sejujurnya, aku tidak mengharap secuil huruf pun di dalam nya ketika kau membalasnya. aku hanya ingin kau mengirim kebekuan yang sama. sebuah kebekuan yang kita alami setelah pergumulan diam yang paling hebat di sepanjang sejarah relasi kita.

sejujurnya, aku hanya ingin mengetahui apakah kau baik-baik saja dengan pergumulan itu dan apakah kebekuan itu mampu kita pecahkan bersama-sama suatu saat entah kapan sepanjang musim yang kau mau, sebatas jangka luasan dada kita mampu menahan perih yang selama ini kita peram bersama. dan apakah kebekuan itu akan lebur bersama sebuah kata pisah atau menyatu kembali dalam satu formula yang utuh.

29012010

Rabu, 20 Januari 2010

Kepada Kecup : Maka, itukah dosa?


: lelaki-ku

maka itukah dosa?

dua bilah bibir senyata parang tajammu meninggalkan penanda rona merah jambu pipiku. penanda kenangan membelah ingatan melupa masa lalu, membuang harap ke depan sesaat.

maka itukah dosa?

dua bilah bibir senyata parang tajammu, ku angan semanis aroma nyalang jalang api merayap. masuki rongga hidung, sedot perhatian, anestesi kesadaran. limbung badan patung terdiam beku sejenak. kaki-kakiku terpaku pada marmer-marmer beku, saksi kau meninggalkanku (entah) sejenak (atau tidak).

maka itukah dosa?

dua bilah bibir senyata parang tajammu selegam ampas kopi dan keluk kelok asap tembakau ringan menyemutinya. akankah rasa manis itu luruh menguar uap diredam lampau, atas pahit yang terlanjur digdaya penuhi paruh besar otakmu. atau tanyakan pada ibumu yang terlanjur menyincip sari patimu terlebih dahulu sebelumnya. menyisir tuju jalur bibirmu dengan mulut sucinya sembari menasbihkan asma-Mu.

maka itukah dosa?

dua bilah bibir senyata parang tajammu melesak mengatakan, sampai jumpa lagi. tak ada rayu, aku bidadari. tapi janji itu membunuhku sejengkal demi sejengkal nyawa yang terukur dari tubuhku, dari kelebatku dan kau hanya tinggalkan janji. itu saja.

maka itukah dosa?

biar Kau hitung segala daya, dan aku menyerah saja. ku hapus dosa itu, menghisapnya, membalas kecup-mu

Minggu, 03 Januari 2010

Pasir Waktu




: lelaki-ku

bukankah pasirpasir itu penghitung waktu
jam-jam tergeletak begitu saja di depan kita?
sebagian besar diseruk dari pantai tak bertuan

apakah kita menggenggam pasirpasir itu sekarang?
kendali atas masa luruh seketika
ataukah pasirpasir itu tak sedikit pun menjelma
sebagian bahkan sedikit saja penera jeda?

mungkin pasirpasir itu salah terpilih
dari ukiran nama yang kubuat beberapa saat lalu
luluh hanyut tergilas pasang

atas nama rindu
biar ombak memata-matai
membawamu pulang ke tanah pesisirku
dan biar pepasir memahat nama kita
melebur memeluk sepiku sementara waktu

03012010

Jumat, 01 Januari 2010

Pada Airmata yang Kubaca dari Ceruk Tirus Tulang Pipimu




: jingga, untuk tanah lantak


pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
malam menjadikan kau berbeda bukan?
setelah sepagi tadi terjaga terpaksa
kau saksi atas tiada

pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
bisakah menukar seribu malam bahagiaku
menggantikan malammu saat itu?
puing membeku
alir air melantakkan tubuh nadirmu

pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
bonggol hati terkeruk habis
indung kelopak kunang-kunang mata meluap kering
ruap gelombang naik tahta menggapai langit

pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
lembar balai mahligai terlantak jeladri
dan kau mematung
: kuasa-Nya, kita tak dapat berbuat apa-apa

pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
lentera padam coba lah nyalakan
entah pada jingga yang mana
pada jingga beratas nama sesiapa
pada jingga kala apa

nyalakan,
mungkin dengan kuat tenaga
dari kerlip bintang yang menjagai langitmu
dari embun pucuk-pucuk dedaun
atau, dari hujan yang menanti hangat terikmu

251209

*malam penanda tahun kelima, sebelum sehari lantak