
: jingga, untuk tanah lantak
pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
malam menjadikan kau berbeda bukan?
setelah sepagi tadi terjaga terpaksa
kau saksi atas tiada
pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
bisakah menukar seribu malam bahagiaku
menggantikan malammu saat itu?
puing membeku
alir air melantakkan tubuh nadirmu
pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
bonggol hati terkeruk habis
indung kelopak kunang-kunang mata meluap kering
ruap gelombang naik tahta menggapai langit
pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
lembar balai mahligai terlantak jeladri
dan kau mematung
: kuasa-Nya, kita tak dapat berbuat apa-apa
pada airmata yang kubaca dari ceruk tirus tulang pipimu
lentera padam coba lah nyalakan
entah pada jingga yang mana
pada jingga beratas nama sesiapa
pada jingga kala apa
nyalakan,
mungkin dengan kuat tenaga
dari kerlip bintang yang menjagai langitmu
dari embun pucuk-pucuk dedaun
atau, dari hujan yang menanti hangat terikmu
251209
*malam penanda tahun kelima, sebelum sehari lantak
2 komentar:
wew,
puisinya sastra banget. Like it meski bingung juga ngartiinnya.
nyalakan kembali bara yang sejenak padam,
lalu biarkan rona itu hadirkan seulas senyum di ceruk tirus tulang pipimu
makasih mbak Desfi... saya pun tak tahu apa itu sastra :)
ini sekedar sebuah refleksi 5 tahun setelah bencana Tsunami, saya ikut prihatin atas bencana tersebut. Penanggal 26/12/2004... dan lima tahun sesudah peristiwa itu terjadi :)
saya harap :jingga, membaca tambahan pesan terindah dari Mbak Desfi :)
salam kenal mbak Desfi... :)
Posting Komentar