Jumat, 10 Desember 2010

apa yang sedang kita perbincangkan, dalam diam?

aku serasa menghirup asap pekat yang kau hembuskan dari nafasmu. terasa sigaret yang kau peluk dalam-dalam adalah luka yang kau peram. itukah beban yang ingin kau tinggalkan?

sementara hujan terus mengguyur tanpa putus di beranda kamarku. entah dingin apa yang kau bagi, mungkin sedingin percakapan kita yang sepertinya kehabisan suara ditelan sunyi yang tiada ampun menghajar kita dalam malam-malam kesendirian.

dan fajar hanya penghibur sesaat, karena kita terlanjur penat pada kelam yang terlanjur mendiami kerajaan-kerajaan angkuh kita.

entah apakah aku masih cukup sabar untuk jatuh dalam rengkuh alur menunggu? atau membiarkan kau basah sendirian dalam kealpaanmu

Selasa, 07 Desember 2010

Hujan di Satu Waktu

kepada kaca jendela berembun
masih saja terpantul raut wajahnya samar
ia terbaca pada alir rintik jarangjarang

kau paling tahu
rindu sesiapa kuperam diam-diam

Kita dan Sepasang Sandal

Kita adalah dua orang anak berlarian berselinthut pandang
Kau sembunyikan bakiak, sandalku
pada pucuk-pucuk dahan mahoni tua mati ranggas
Kemudian kau tipu aku. kau katakan beberapa gagak hitam membawanya lari, namun ternyata sandal itu kau pinjamkan kekasihmu

Kemudian apa yang tertinggal sekarang?
Kakiku luka, baunya membusuk, tak tahu lagi pembeda nanah dan daki.

Tak ada yang aneh dari sandal itu, selain ukiran nama dan beberapa penanda seonggok kenangan yang belum hilang.

Kita masih bisa mengamatinya dari kejauhan. Atau bila pun tak, kita akan berjalan berpisah melupakan, menggantikan sepasang sandal itu dengan yang baru

Kau dan Aku (Mungkin) Terlanjur Lupa

kau dan aku adalah tokoh cerita lucu dalam sengkarut
apakah otak kita tercerabut dari tempurungnya?
mungkin aku saja?

aku tak tahu lagi bagaimana cara menyapamu
sudah terlanjur lupa
"hai"
"hallo"
atau entah aku sama sekali benar-benar lupa

kita ini dua bocah yang saling mengejar punggung
kau dan aku sudah lupa
bagaimana mengeja kata
bagaimana memelihara kenangan

yah
kau dan aku mungkin terlanjur lupa

terpikir untuk melempar jendelamu dengan kerikil
berharap kau melongok ke bawah
memandangku

namun lagi-lagi
kita ini dua bocah yang saling mengejar punggung
kau dan aku sudah lupa
bagaimana mengeja kata
bagaimana memelihara kenangan

ketika kau memandang ke bawah,
aku sedang memungut bebatuan
kau dan aku mungkin sudah lupa cara menyapa

kau dan aku sudah lupa
bagaimana menandai masa
mungkin bisa kutemui di garis kepulanganmu?
: Juanda

Kau dan Aku Potongan Kolase yang Tak Pernah Utuh

mengumpulkan kolase demi kolase. mozaik yang dulu berantakan ingin mulai kukumpulkan, tapi bagaimana caranya? sementara aku lupa mozaik muasal. kolase itu dulu aku suka sekali mengumpulkannya, namun apa yang terjadi bila kolase-kolase itu bukan potongan gambar yang sepenuhnya tepat saling melengkapi?

kemudian aku mencari-cari pembenaran bahwa, yah... kolase-kolase yang kumiliki adalah potongan yang sempurna yang saling melengkapi. padahal nyatanya kami hanya bermain-main imajinasi tentang kebohongan.

kolase yang tak pernah utuh itu aku pecahkan berderak ke lantai, membiarkannya.
kini aku ingin mengumpulkannya kembali?

Kolase

: penunggu malam

bulan yang menjajah langitmu
tak terlihat dari sini

sungguh!

mungkin bisa,
kucuri potongan tangkapan wajahmu
tempelkan lekat
di plafon kehitaman kamar
: kolase rautmu

Kau dan Bayangan Bulan

tak ada yang bisa menolak ketika kau sorongkan
sebuah jarum suntik dan setakar anestesi
tak ada yang bisa meski kau meluruhkannya ragu
meski kau melungsurkan hujan kau tadahkan pada cangkir kopimu

tak ada yang bisa menolak ketika kau mengajakku
menceburkan diri ke tengah telaga
telaga itu memantulkan bayangan bulan
kau ingin aku merengkuhnya erat
sedemikian erat meski kau tahu bulan dan kau
tak sebanding

apakah kau bayangan bulan yang mati?
dan kemarin sosok yang mengajakku menceburkan diri
adalah hantu mu yang bangkit kembali?

Selepas Senja Sesudah Hujan Deras Tadi

ada yang ingin kutuliskan selepas senja ini padamu
sehabis hujan yang menderas
dedaunan basah meniris-bentukkan genangan di teras

ada yang ingin kutuliskan selepas senja ini padamu
pada sebuah lagu yang tanpa sengaja kudengar
pada sebuah ingatan yang tiba-tiba menguar

kau tahu apa yang ingin kutuliskan padamu?
sepucuk surat yang hanya ingin mengetahui kabar
surat yang kuharap bisa memecah kebekuan
mungkin sepenggal huruf, sepeninggal tanda baca,
atau mungkin hanya secarik kertas kosong
kertas kosong itu hanya kuguratkan namaku saja

apakah kau paham dengan bahasa seperti itu?
seperti aku paham bahasa lukamu memeluk kehilangan
seperti aku paham isyarat air mata keterasinganmu

bila tidak,
mungkin tak akan ada lagi penanda yang akan kuberi
selain sendiri

Sebuah Surat Bertajuk Ingatan

: pemilik cerita yang itu-itu saja

seperti apa kita kiranya setelah lima atau sepuluh tahun yang akan datang
sudahkah membuang beberapa sketsa hujan atau jingga yang tersimpan?
atau aku belum juga melepas kebiasaan mencuri pandang jendelamu sesekali

seperti apa kita kiranya setelah lima sampai tiga tahun yang akan datang
sudahkah meletakkan beberapa cerita pada kotaknya
kemudian kita bisa menertawai kebodohan kita saling berselisih paham
kebodohanku mungkin, karena aku tahu
kau selalu akan lebih mudah menertawai kebodohanku

meski aku sering kali menitipkan pesan pada karibku
betapa bodohnya kau yang tak mau membalas pesan rinduku
tak tahu? tak mau tahu?
atau memang tahu, mau tahu, namun tak tahu bagaimana memberitahuku?

seperti apa kita kiranya setelah tiga sampai dua tahun yang akan datang
sudahkah membiasakan diri melewati setiap penanda arah atau jalan seperti biasa
membiarkan penanda kenangan itu hanya untuk membaca tujuan
bukan pemicu ingatan dulu saat kita bersama-sama melewati dari ujung ke ujung

seperti apa kita kiranya dua sampai satu tahun yang akan datang
sudahkah abai pada kebiasaan makan, lagu kesenangan atau celotehan nakal
yang selalu kita hembuskan perlahan-lahan pada kabel angin kita?

seperti apa kita kiranya kini sampai setahun mendatang
aku belum bisa lupa
entah kamu....

Racau

Galaksi sengkarut cerai berputaran
Matahari nabrak-nabrak
Komet terlempar
Hujan bintang gencar

Aku ingin langit marah
Marah
Marah
Marah
Menjadi-jadi

Tuhan sembunyi
Tuhan cepat lari
Ayat-ayat telanjang
Nabi-nabi rajin demo
suaranya teriak-teriak - Gak Jelas
Malaikat terbirit-birit
jatuh ia ke selokan

Hahaha lucu..!!
Lu-cu!!!

Tulisan ngawur!!
Ngawur semua!!

Pulau ke pulau musnah
Aku duduk di pojokan
Menempel di tembok
Kok bisa??

Siapa membohongi siapa
Lari sekencang kau bisa
Secepat kau mau
Senyalang pandanganmu
Berenang hingga jauh
Menyelam hingga dalam
Jangan kembali ke daratan

Dunia jadi anak yang linglung
Siapa?

kembali saja pada perahu
Yah aku coba naiki perahu
Lalu kembali ingatkanmu
bahwa biduk selalu bermuara padamu

Kembali saja ke dalam rumah
Ambil beberapa kaleng bir
selusin
tenggak semua
biar lupa

Aku tak ingin berlayar ke laut
ke danau
Aku coba ke danau saja
Di sana tak akan bertemu laut
Kemudian menyelam
Menyelam yang dalam
Terjun ke danau
Tak lupa membelitkan diri
Pada sulur lumpur lumut
tepat leher
ingat leher!!
biar mati seketika

Aku ingin mati
Yah mati saja
tapi tak mau ketemu kamu
tak juga dengan Tuhan
lalu buat apa hidup?
yah buat mati, lah...

Puisi carut marut
emangnya ini puisi??

Terserahku!!
Kau mau apa??
Sesukaku lah...

Tak mau baca??
lempar saja laptopmu
atau matikan saja hapemu
nahh mati juga kan??

ya sudah
puas??
entah..
tidur saja sana...
mungkin iya

jangan ada lagi air mata untuk lelaki itu

Dongeng Kala Lembayung

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala kepala lunglai mula rebah
pinjamkan aku satu sisi bahumu yang kosong
aku tahu sisi bahumu yang lain telah terisi

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala buku dongeng mula digeletakkan di lemarinya
bacakan satu halaman saja kembali untukku
dari kalam lama mushaf kecoklatan
syair sultan dan putri jelita
cerita tentang negeri barat dan ksatrianya
yang tak berbaju zirah
yang tak bertameng tembaga
ksatriamu adalah perempuan perkasa berdada

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
kala kelopak mata mula terpejam
petikkan sebuah lagu untukku
yang bukan kesukaan miliknya
yang hanya kesukaanmu
yang dari jemarimu melesaklah irama blues merenjana
yang kau suka pasti aku suka

ini adalah saat kelam mulai menggelar karpet lembayung
separuh milikmu yang dimilikinya
sisanya aku ingin milikimu

Juanda : Balada Gadis Kecil dan Lelakinya

kurang lebih setahun yang lalu :


gadis kecil menatap lonjor beku besi penyekat
bukankah lonjor itu bicara pisah?
gadis kecil membuat hujan dari kunang-kunang matanya
beberapa kaca penyekat ikut basah

lalu lalang laju penumpang
sayap-sayap keberangkatan

gadis kecil menatap sepatu-sepatu
diketuk-ketukkan
penanda akhir perjumpaan

gadis kecil menatap nanar parkiran
jemarinya basah
ia tak ingin lelakinya pergi

derit kereta jajaran koper-koper
bagasi penuh petugas sibuk
melintas pilot pramugari bersisian

gadis kecil memasangkan kedua bola matanya
lekat
sangat lekat

lelakinya melangkah abai
tak berpaling muka
tak ada luka

disorongkan tubuh gadisnya
ke dada
dan lelakinya pergi
begitu saja

gadis kecil menjatuhkan hujan diam-diam
kaca jendela berembun
sayap bermesin pergi bersama lelakinya

Catatan : Dua Orang Gila

Berapa lama kamu disini?
Sejam? Sehari? seminggu? sebulan?

Kau dan aku adalah dua orang gila
Kita saling berebut mencari muka
luka terselip di lidah kita

Kau dan aku adalah dua orang gila
Bagaimana mungkin menggambari surya
Apa yang akan kau gambari?
Apa yang akan kau ukir?

Dua bulatan bola mata
Dari masa lalumu, mungkin?
Atau wayang-wayang yang menyelinap
Dalam sepimu
Dalam dukamu

Kau dan aku adalah dua orang gila
Kita saling berebut arah jalan
Kita menemu persimpangan

Kau dan aku adalah dua orang gila
Bagaimana mungkin?
Persimpangan itu mengakhir satu jalan
Kebuntuan?

Kau tahu?
Sepanjang perjalanan itu tak ada yang kutemu
Selain pepasir pantai mencapkan jarimu
Langkah kaki yang menelikungku, mungkin?
Atau sakit reka kepala

Ssst…
Tak ada yang tahu bukan?
Sajak yang diam-diam kutulis padamu
Berisi hanya beberapa kata

Namun tentu saja
Aku akan berulang kali berkata
Kau dan aku adalah dua orang gila
Mencari bebat luka kegilaan yang sama
Kau dan aku adalah dua orang gila,
bukan?

Kau tahu?
Kau dan aku adalah dua orang gila,
bukan?

Aku membencimu
karena aku mencintamu dengan sangat.

Kepada Senja

Apakah matari esok masih kan bersinar?
Bila iya, tahan saja
Biarkan ia alpa
Gantikan jinggamu
Selamanya, tak apa

Karna ku takut
gelap malam larut
Karna ku rindu luruh hujan turun
saat fajar kecup ubun-ubun

Sebuah Berita Sehari Setelah Lebaran

: KL + IBRA

dan mencarilah aku dari layar telepon seluler sebuah detak yang kehilangan rimba, ia sempat tersesat di dalam labirin rahimmu, memelukmu dengan erat, melindungimu seperti kau memanjakannya dengan sujud dan do'a baik atas setiap kelahiran yang akan kau songsong. tapi kau menantikan sebuah titik yang kemudian kau yakini sebagai sebuah garis datar, sebuah kepulangan.

ia menjelma pergi pada sebuah kabar pagi, sehari setelah seru kemenangan menguar di keheningan sepi lalu. dari beberapa gurat pendek alfabet.

kau tahu, langitmu telah mendiami langitNya dan menemanimu kelak bila kau sudi berjuang atas sebuah pertemuan yang dijanjikanNya entah nanti suatu ketika.

di tengah gegap riuh kalamNya, ia terlahir dengan sejuta puja-puji malaikat yang menyalakan lentera malam yang lebih indah dari seribu bulan, bukan? dan kau mengingatkan bahwa kalian akan bersedekap menyebutNya bersisian dalam takbir di malam penuh kesucian

tapi tenanglah sayang, kesucian ia akan kembali pada kesucian, dan ada yang masih harus tertebus pada sebuah janji saat ia menggantungkan mulutnya pada luang hidupmu : perjalanan bersama ke nirwana

dan tentu sayang, mencapai nirwana bukan lagi sebuah perjalanan. yang dipercepat, bukan juga sebuah perjalanan sekejap.

namun kau akan menjalani kerumitan-kerumitan lain yang tak kalah peliknya dengan sebuah kehilangan. dan susul menyusul dilema yang tak kalah riuh dan hebatnya.

dan ingatlah pada setiap ketiadaan akan terbit kelahiran yang baru. karena tak ada kesiaan dari sebuah kesakitan, tak ada yang terbuang dari segala yang hilang.

dan hidup adalah jalan berbuat salah dan mencoba memperbaiki kesalahan.

Sepenanda Sunyi yang Hilang

Jalan lengang kaki berjelaga,
setapak mengerut kerdil
Orang-orang asing tatap terpicing

Serangkaian tetak masa mengusang
penanda luruh
Halaman buku ingatan terbakar
ruar api enggan menghindar

Ada yang larut
ketika pandang menoleh
Lidah tuli
mata membisu-kebas
telinga membuta.

Tik tok sepenunggu waktu diam
sepenunggu waktu hening

: tak ada sunyi yang lebih sunyi
dari sekedar hati disajikan santap bersama

Hikayat

kupu-kupu mengkerut kepak sayap

kepompong di ujung dahan

tak ada sisa selain niscaya

: perubahan