Kamis, 29 Oktober 2009

Sebuah Surat : Rindu yang Lebur dan Kata yang Beku


: Jingga

Aku rindu
Pada taman yang menghantar kita menemu tatap mata
Pada setapak yang mencandai genggam tangan kita
Padahal aku angkuh, bukan?
Kau juga, bukan?
Dan akhirnya mereka hanya puas menyaksikan kita
Mensedekapkan jemari pada dada
Sungguh, bukan itu yang ku mau

Sepertinya lepas penanda kata kita
Tertinggal pada kenangan yang telah lampau
Pada tetak batu, pada dedaun kering, pada pancuran air

Sepertinya lepas penanda kata kita
Tercerabut pada ingatan yang terberai
Pada pepohon, pada desau angin, pada kerikil 

Mengapa kau tak menarikku saja
Seperti saat kau mampu merenggutku masuk ke luka kenanganmu
Mengapa kau tak melesakku saja
Seperti saat kau mampu mendesakku mengawang hujanmu

Apakah hati kita tak lagi sama-sama menyentuh?
Seperti kalanya saat kita menghantar pesan-pesan rindu 
Pada tanggal, pada hari, pada jam 
Dimana aku mengungkal seulas senyummu?

Rindu masih terpasung
Membentur marmer bentengmu
Apakah ada beton yang membendung di belakang?
Sehingga aku pun tak paham
Rapat tabir rumit ku buka

Kita sama-sama cahaya api
Membiarkan rindu-rindu kita
Terbakar lenyap lebur jadi abu
Kemudian diam kita tukar pada temaram malam
Dan kata-kata seketika membeku

Sby, 291009

Minggu, 18 Oktober 2009

Lelaki yang Menyimpan Aroma Api


: Jingga

sungguh ada aroma api dari tubuhmu

lingkup bayang aura jingga mengental
namun sepertinya kau lupa,
kau pun angkuh

bukankah aku embun?
ah mungkin bukan
sebut saja aku bayangan bulan
menetap di danau
tersesat dan asing

sungguh ada aroma api dari tubuhmu
kau api yang mencinta hujan
hingga aku tahu hangat dadamu
menguar hingga ke kamarku

sedahsyat itu-kah?

bukankah aku sirkam merah muda?
ah mungkin bukan
sebut saja aku batu kali 
menetap di danau
tersesat dan asing

dan entah selalu saja tercium aroma api
entah apakah asingku menyerapnya habis?
kemudian mengedarkan ke sumsumku

sungguh ada aroma api dari tubuhmu
dan api itu berdiam di otakku
: enggan pergi

sby, 181009