Sabtu, 29 Agustus 2009

Di Situ, di Taman itu, Aku Menunggumu

: Jingga


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
senja merayap masuk dari sela semak belukar, akar pepohonan yang tersembul
kelindan pijar kerlip lampu yang satu persatu membias mewarna sudut sudut


aku tak perlu kusam bangku taman, sayang
cukup luasan dadamu, rebah kepala bersandar
hingga cukup dekat, sangat dekat dengan debur jantungmu
kalau aku beruntung aku mungkin bisa mendengar
sorai degup meneriakkan namaku berpacu dengan angin malam itu


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
tentang paving yang mengeras tegar menantang panas dan hujan
dan garisgaris tetak patok yang memisah jarak satu dengan yang lain


itu kepala kita, sayang
menggenggam kata yang kita peram dalam
tiga kata, sayang
dan kita masih enggan membuka satu demi satu selubung sebelum matang


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
ketika terang habis dilumat awan malam
burung mengintai kita di langit, rikat laju sayapnya
biarkan mereka mencibir iri bersungut-sungut pulang
kemudian rombongan yang lain datang
nyamuk liar yang berdengung denging merindu wangi aroma bahumu
: seperti ku


apakah aku pernah bercerita padamu tentang taman yang selalu menunggumu?
kita mendiami belah kota yang berbeda, menyusuri punggung jalan tak sama
kalau kau singgah suatu saat entah, suatu waktu mungkin
tengok saja di situ, di sudut taman kota itu
saat siluet senja mula memudar dan rambang


ada yang menunggu di situ membawa rindu
: aku


sby, 290809


Minggu, 16 Agustus 2009

Tabula Rasa *1) : Pasivitas Manusia dalam Menerima Lingkungan



By statement: Ratih Kumala.
Language: Indonesian
Pagination: vii, 185 p. ;
ISBN 10: 9797327140
LCCN: 2004427677
LC: MLCSE 2004/00936 (P)







Saat saya membaca sebuah novel percintaan - seperti yang diungkapkan oleh salah satu endorsernya - biasanya menjadi suatu hal yang mengasyikkan, dan memang demikianlah adanya. Kemudian, ketika saya menggambarkan isi novel ini dengan menggabungkan efek label Pemenang Ketiga Sayembara Novel DKJ 2003 di sampul depan, tiga orang endorser kelas TOP – dalam artian top, tiga orang erdorser *2) tersebut adalah penulis dan pembangun menara sastra Indonesia, menurut saya tentunya- di bagian belakang, menjadi sebuah jaminan yang “mahal” bahwa ada sajian yang menarik dari novel ini.

Namun menjadi ironi ketika saya menemukan buku ini di tumpukan buku “sale” dengan harga bandrol sepuluh ribu rupiah, di sebuah pameran buku di wilayah Surabaya, saat Surabaya sedang merayakan bulan-bulan HUT eksistensinya sebagai Kota Niaga. Mengapa novel “bermutu” ini ada di keranjang sana, diantara deretan buku yang tidak “popular” dan tidak mempunyai “daya jual” di mata publik Surabaya? Padahal, menurut saya label-label tersebut adalah suatu jaminan. Ah… kemudian saya agak tersenyum kecut tapi lega, minat baca masyarakat Surabaya tidak se-memprihatinkan yang saya kira. Ketika saya cari-cari, buku ini tinggal satu di keranjang tersebut. Kecewa sebenarnya, karena biasanya saya akan membeli lebih untuk saya bingkiskan kepada orang lain.

Ya, kemudian pembicaraan saya berikutnya adalah, marilah mengesampingkan terlebih dahulu problematika market, idealisme dan momentum dalam sebuah penerbitan dan penjualan buku, dan saya malah lebih asyik membicarakan apa di dalam novel yang dibungkus cover putih dengan lukisan semi-absurd, tanpa judul dan tanpa tercantum siapa desainernya dan diberi tajuk “TABULA RASA” ini.

Saya ingat, saya mulai akrab dengan istilah Tabula Rasa ketika saya sedang menempuh pendidikan sarjana saya. Istilah ini seperti sebuah istilah ajaib semacam “Alohamora” dalam mantra “Harry Potter” sebagai pembuka kunci sebuah pintu. Dan saya tahu pintu itu adalah pintu dunia psikologis pembaca. Tabula Rasa adalah juga kata pertama yang didengung-dengungkan dalam diktat disiplin ilmu saya. Simak saja berikut :

Teori “tabula rasa” sebagai kelanjutan pendapat Aristoteles yang secara garis besar menganalogikan manusia ( bayi ) sebagai kertas putih dan menjadikan hitam atau menjadikan berwarna lain adalah pengalaman atau hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan dan treatmen dari orang-orang yang berpengaruhlah yang membentuknya melalui proses belajar dan pembiasaan-pembiasaan. Tak ada daya bagi manusia untuk menjadikan hidupnya. Satu-satunya yang menentukan adalah lingkungan. *3)


Apakah itu yang dimaksud oleh penulis? Maka ketika saya membaca, saya ketemukan apakah makna Tabula Rasa menurut penulis, lewat sebuah kutipan salah satu tokoh sentralnya – Raras - sebagai bentuk pasivitas manusia dalam lingkungannya, layaknya bayi, seperti penggalan berikut.

Vi, aku kini tahu siapa aku. Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris yang terbentuk dari jalannya hidup. Aku tak pernah menyesalinya. Aku tak menyesali jalanku. *4)


Raras, perempuan dengan naluri homoseksual perdominan, gamang dengan pilihan akhir hidupnya.

Kalau memang kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah dulu malaikat salah taruh jiwa laki-laki ke tubuh perempuan dan jiwa perempuan ke tubuh laki-laki? …. Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk menjadi homoseksual, semua orang juga maunya lahir normal. Maka kuanggap biseksual adalah solusinya, tapi kemudian Argus menasehati agar aku memilih menjadi homoseksual atau heteroseks saja sebab ancaman bahaya untuk kesehatanku jadi lebih besar jika aku menjadi biseksual. *5)

Raras dihadapkan oleh penulis sebagai tokoh yang tidak bisa membuat pillihan hidup, ia seakan-akan telah diberi pilihan dan pilihan itulah yang harus dijalaninya.

Apakah seperti demikian maksud "Tabula Rasa" yang ingin dipresentasikan dalam novel tersebut? Yang saya ingat, ketika pembaca membuka dan mulai membaca, tak pernah ada tabula rasa dalam setiap individu.

Apabila demikian apakah manusia hanya boneka “suatu takdir”, “rencana hidup”, “Tuhan” atau lingkungan sebagai representasi dasar dari pemaknaan Tabula Rasa tersendiri?

Saya ingat, ketika saya mulai membaca, saya mempunyai berjuta-juta rasa tersendiri, patah hati, kecamuk menghidupi diri, masalah pribadi dan berjuta polemik dan permasalahan yang tentu saja BERBEDA dan UNIK dari orang lain. Apabila setiap orang – sebagai satuan unit lingkungan- seperti kertas kosong, tentu tidak ada yang UNIK dari kita bukan? Atau mungkin memang, Raras sebagai tokoh sentral Tabula Rasa merupakan sebuah tokoh sentral dinamika kepasifan manusia atas lingkungannya.

Saya pikir, Tabula Rasa lebih dari sekadar sebuah jalinan cerita reka ulang adegan yang serampangan, karena didalamnya banyak kandungan dinamika psikologis manusia yang dieksplorasi dengan cerdas dan perenungan.



Pencatat :
Nisa Ayu. mahasiswa jebolan S1 Fakultas Psikologi UBAYA


Daftar Rujukan :

*1) Judul novel yang ditulis oleh Ratih Kumala, terbitan PT. Grasindo, tahun 2004.

*2) Tiga endorser tersebut adalah Budi Darma beliau adalah cerpenis, novelis dan pengamat sastra, Maman S. Mahayana, pengamat dan kritikus sastra dan Puthut EA, penulis.

*3) Diambil dari http://74.125.153.132/search?q=cache:vCfhMISEApsJ:edwi.dosen.upnyk.ac.id/PSISOS.1.doc+tabula+rasa+%2B+psikologi&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

*4) Tabula Rasa. hal. 183

*5) Ibid. hal. 158-159

Sabtu, 08 Agustus 2009

Pesta Kantong Mata Hitam




entah pesta siapa kita rayakan
penanda delapan bundar bulan
kau balikkan punggung sekenanya sesukanya
saat itu

mungkin aku terlanjur lupa, kau setubuhi buih samudra
lalu pekat warna kopi kau muntahkan di kedalaman
kau jilat hidu seakan hitam kelirmu

ah... mungkin memang benar hitam kelirmu?

setelah itu aku hanya bertanya
siapa yang harus kupercaya?
bulan bundar, buih samudra, kelir kopi, atau...
kau?

kantong-kantong mataku terlanjur menghitam, Tuan!
hanya itu kau tinggalkan?

: penanda pestamu

sby, 090809